berita baru

Jumat, 10 Desember 2010

Filsafat Pendidikan Realisme

Filsafat Pendidikan Realisme


BAB I PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Filsafat pendidikan adalah aplikasi dari filsafat umum dalam pendidikan. Berbeda dengan Filsafat Umum yang objeknya adalah kenyataan keseluruhan segala sesuatu. Filsafat Khusus /terapan mempunyai objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang dalam hal ini adalah pendidikan. Filsafat pendidikan menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang cara dan hasilnya serta hakikat ilmu pendidikan yang bersangkut paut terhadap struktur kegunaannya.

Seperti halnya filsafat yang lain, filsafat pendidikanpun bersifat spekulatif, preskriptif dan analitik. Spekulatif artinya filsafat pendidikan membangun teori-teori tentang hakikat pendidikan manusia, hakikat masyarakat dan hakikat dunia. Preskriptif artinya filsafat pendidikan menentukan tujuan pendidikan yang harus diikuti dan dicapai. Analitik artinya filsafat pendidikan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang spekulatif dan perspektif.

Filsafat ilmu pendidikan dapat dibataskan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan yang dihasilkan melaui riset baik kualitatif maupun kuantitatif. Filsafat pendidikan ini perlu dipedomani para perencana pendidikan tentang tujuan, isi, kurikulum yang merumuskan tujuan-tujuan pengubahan perilaku yang bersifat personal, sosial dan ekonomi.
Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum maka filsafat pendidikan pun terdiri bebarpa aliran seperti filsafat pendidikan idealisme, realisme, esensialisme dan pragmatisme.

B.     TUJUAN DAN PEMBAHASAN
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Ilmu pendidikan. Yang merupakan matakuliah matrikulasi bagi program S2 yang berasal dari sarjana non kependidikan. Pada makalah ini kami kelompok 2 berusaha membahas mengenai Filsafat pendidikan yang menganut aliran realisme.

Pembahasan dari makalah ini terbagi menjadi 8 bagian yang pertama adalah pendahuluan, disusul oleh konsep pendidikan realisme, tujuan pendidikan realisme, isi kurikulum, peranan sekolah dan guru menurut aliran realisme, prinsip-prinsip pendidikan, peran siswa yang disertai contoh kasus pada taman siswa. Dan bagian akhir adalah kesimpulan dan penutup.


BAB II PENDIDIKAN MENURUT ALIRAN REALISME

Aliran Realisme adalah aliran filsafat yang memandang  realitas sebagai dualitas. Aliran realisme memandang dunia ini mempunyai hakikat realitas yang terdiri dari dunia fisik dan dunia rohani. Hal ini berbeda dengan filsafat aliran idealisme yang bersifat monistis yang memandang hakikat dunia pada dunia spiritual semata. Dan juga berbeda dari aliran materialisme yang memandang hakikat kenyataan adalah kenyatan yang bersifat fisik semata. Realisme membagi realistas menjadi dua bagian yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan yang kedua adanya realita di luar manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.
Aliran realisme mempunyai berbagai macam bentuk yaitu realisme rasional, realisme naturalis dan realisme kritis. Realisme rasional juga masih terbagi dua yaitu realisme klasik dan realisme religius. Realisme klasik pertama kali dikembangkan oleh Aristoteles. Berikut ini kita bahas pendidikan menurut aliran realisme

A.     Konsep Pendidikan
Berikut ini kita akan membahasa konsep pendidikan mengenai pengertian pendidikan dan gambaran pendidikan menurut masing-masing bentuk aliran realisme.
1. Realisme Rasional
Realisme klasik  berpandangan bahwa manusia sebenarnya memiliki ciri rasional. Dengan demikian manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Eksistensi Tuhan merupakan penyebab pertama dan utama realistas alam semesta. Memperhatikan intelektual adalah penting bukan saja sebagai tujuan melainkan sebagai alat untuk memecahkan masalah. Menurut realisme klasik pengalaman manusia penting bagi pendidikan. Menurut Aristoteles, terdapat aturan moral universal yang diperoleh dengan akal dan mengikat manusia sebagai mahluk rasional. Manusia sempurna menurutnya adalah manusia sempurna yang mengambil jalan tengah. Konsep pendidikan pada anak bahwa anak harus diajarkan ukuran moral yang absolut dan universal karena baik dan benar adalah untuk seluruh umat manusia. Kebiasaan baik harus dipelajari karena kebaikan tidak datang dengan sendirinya

Sedangkan menurut realisme religius bahwa kenyataan itu dipandang berbentuk natural dan supernatural. Pandangan filsafat ini menitik beratkan pada hakikat kebenaran dan kebaikan. Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri guna mencapai kebenaran abadi. Kebenaran bukan dibuat melainkan sudah ditentukan dan belajar harus mencerminkan kebenaran itu. Menurut Cornerius pendidikan harus universal, seragam dan merupakan suatu kewajiban dimulai dengan pendidikan yang lebih rendah.

2. Realisme Natural
Menurut realisme natural pengetahuan yang diakui adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman empiris dengan jalan observasi atau pengamatan indera. Para pengikut realisme natural mengikuti teori pengatahuan empirisme yang mengatakan pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan dan merupakan sumber pengetahuan manusia.
Pendidikan berkaitan dengan dunia di sini dan sekarang. Dunia diatur oleh hukum alam. Pendidikan menurut aliran realisme natural haruslah ilimiah dan yang menjadi objeknya adalah kenyataan dalam alam.

3. Realisme kritis.
Menurut pandangan Breed filsafat pendidikan hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip demokrasi. Pendidikan sebagai pertumbuhan harus diartikan sebagai pengarah terhadap tuntunan sosial dan individual. Menurut Imanuel Kant , pengetahuan mulai dari pengalaman namun tidak semiuanua dari pengalaman. Pikiran tanpa isi adalah kosong dan tanggapan tanpa konsepsi adalah buta.

Menurut Henderson ke semua bentuk aliran realisme pendidikan menyetujui bahwa
a.       Proses pendidikan berpusat pada tugas mengembangkan laki-laki dan wanita menjadi hebat
b.      Tugas manusia di dunia adalah memajukan keadilan dan kesejahteraan umum
c.       Tujuan akhir pendidikan adalah memecahkan masalah-masalah pendidikan.

PENDIDIKAN MENURUT ALIRAN FILSAFAT IDEALISME DAN REALISME: IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (PLS)

PENDIDIKAN MENURUT ALIRAN FILSAFAT IDEALISME DAN REALISME: IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (PLS)


A.   PENDAHULUAN

Terdapat banyak alasan untuk mempelajari filsafat pendidikan, khususnya apabila ada pertanyaan rasional yang seyogyanya tidak dapat dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu pendidikan. Pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang membahas konsep dan praktik pendidikan secara komprehensif sebagai bagian yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Terlebih lagi, di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan harus diberi inovasi agar tidak ketinggalan perkembangan serta memiliki arah tujuan yang jelas. Di sinilah perlunya konstruksi filosofis yang mampu melandasi teori dan praktek pendidikan untuk mencapai keberhasilan substantif.
Teori dan praktek pendidikan memiliki spektrum yang sangat luas mencakup seluruh pemikiran dan pengalaman tentang tujuan, proses, serta hasil pendidikan. Pendidikan dapat dipelajari secara empirik berdasarkan pengalaman maupun melalui perenungan dengan melihat makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Praktek pendidikan memerlukan teori pendidikan, karena teori pendi­dikan akan memberikan manfaat antara lain: (1) Sebagai pedoman untuk mengetahui arah dan tujuan yang akan dicapai; (2) Mengurangi kesalahan-­kesalahan dalam praktek pendidikan karena dengan memahami teori dapat dipilih mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan; (3) Sebagai tolok ukur untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan pendidikan.
Teori pendidikan yang berisikan konsep-konsep dapat dipelajari dengan menggunakan berbagai pendekatan, antara lain pendekatan filosofi yang akan melahirkan pemahaman tentang filsafat pendidikan. Pendekatan filosofis terhadap pendidikan merupakan suatu pende­katan untuk menelaah dan memecahkan masalah pendidikan menggunakan metode filsafat. Pendidikan membutuhkan filsafat, karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang terbatas pada pengalaman.
Dalam kegiatan pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks, dan mendalam serta tidak terbatas oleh pengalaman indrawi maupun fakta-fakta sehingga tidak dapat dijangkau oleh ilmu pendidikan (science of education). Masalah-masalah tersebut antara lain adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup manusia. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan suatu fakta, namun pembahasannya tidak dapat dikaji hanya dengan menggunakan pendekatan sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam melalui filsafat.
Sejarah filsafat menunjukkan bahwa tidak hanya satu filsafat yang berkembang, melainkan banyak jenis aliran atau mazhab filsafat. Dalam filsafat ditemukan adanya aliran seperti idealisme, realisme, materialisme, pragmatisme, eksistensialime, dan sebagainya. Dengan demikian, pendekatan filosofis dalam memaknai teori pendidikan akan didasari oleh berbagai aliran filsafat tersebut. Dalam mempelajari dan mengembangkan teori pendidikan perlu dipahami aliran-aliran filsafat yang melandasinya.
Kiranya kegiatan pendidikan tidak sekedar dipandang sebagai gejala sosial yang bersifat rasional semata akan tetapi ada sesuatu yang mendasarinya. Peranan filsafat dalam mendasari teori ataupun praktek pendidikan merupakan salah satu sumbangan berharga bagi pengembangan pendidikan. Dengan memperhatikan uraian di atas, salah satu pertanyaan yang muncul adalah: “Bagaimana aliran-aliran filsafat melandasi teori pendidikan?” Pertanyaan tersebut akan dijawab dengan mengkaji pemikiran tentang teori pendidikan menurut aliran-aliran filsafat yang ada. Di antara sekian banyak aliran filsafat, kajian ini akan difokuskan untuk membahas pemikiran tentang teori pendidikan menurut aliran filsafat idealisme dan realisme.
Pembahasan dalam makalah ini menekankan pada topik tentang teori pendidikan berdasarkan aliran filsafat idealisme dan realisme. Kajianya didasarkan pada pemahaman tentang landasan filosofis yang digunakan dalam pengembangan teori pendidikan. Awal pembahasan dimulai dengan pentingnya mempelajari filsafat dalam pengembangan teori pendidikan. Selanjutnya dikemukakan tinjauan umum tentang filsafat dan filsafat pendidikan; serta aliran filsafat idealisme dan realisme dalam pendidikan. Pada bagian akhir tulisan dikemukakan pembahasan mengenai pertentangan serta perpaduan aliran filsafat idealisme dan realisme dalam mewarnai teori dan praktek pendidikan, khususnya Pendidikan Luar Sekolah.
B.   PENDIDIKAN MENURUT ALIRAN FILSAFAT IDEALISME DAN REALISME
1.   Tinjauan Umum tentang Filsafat Pendidikan
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir, namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Tegasnya, filsafat adalah karya akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Filsafat merupakan ilmu atau pendekatan yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) yang seringkali disebut sebagai raksasa pemikir Barat, filsafat adalah ilmu pokok yang merupakan pangkal dari segala pengetahuan.
Kerana luasnya lapangan filsafat, orang sepakat mempelajari filsafat dengan dua cara, yaitu mempelajari sejarah perkembangannya (metode historis) dan mempelajari isi atau pembahasannya dalam bidang-bidang tertentu (metode sistematis). Dalam metode historis orang mempelajari sejarah perkembangan aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga sekarang. Di sini dikemukakan riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang keagamaan. Dalam metode sistematis orang membahas isi persoalan ilmu filsafat itu dengan tidak mementingkan sejarahnya. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan yang salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah. Dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang baik dan yang buruk dalam perbuatan manusia. Dalam metode sistematis ini para filsuf dikonfrontasikan tanpa mempersoalkan periodasi masing-masing.
Filsafat itu sangat luas cakupan pembahasannya, yang ditujunya adalah mencari hakihat kebenaran atas segala sesuatu yang meliputi kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), serta mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang paling utama dalam filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika, dan etika. Dengan memperhatikan sejarah serta perkembangannya, filsafat mempunyai beberapa cabang yaitu: (1) Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden dan berada di luar jangkauan pengalaman manusia; (2) Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah; (3) Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk; (4) Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek; (5) Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan; (6) Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya.
Filsafat akan memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, tentang kebenaran. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru serta membangun keyakinan atas dasar kematangan intelektual. Filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi dapat dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Filsafat akan memberikan dasar-dasar pengetahuan yang dibutuhkan untuk hidup secara baik, bagaimana hidup secara baik dan bahagia. Dengan kata lain, tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).
Pendekatan filosofis untuk menjelaskan suatu masalah dapat diterapkan dalam aspek-aspek kehidupan manusia, termasuk dalarn pendidikan. Filsafat tidak hanya melahirkan pengetahuan banu, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan adalah filsafat terapan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang dihadapi. John Dewey (1964) berpendapat bahwa filsafat merupakan teon umum tentang pendidikan. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir akan menjawab persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis dan memerlukan jawaban filosofis pula.
Setiap praktik pendidikan atau pembelajaran tidak terlepas dari sejumlah masalah dalam mencapai tujuannya. Upaya pemecahan masalah tersebut akan memerlukan landasan teoretis-filosofis mengenai apa hakikat pendidikan dan bagaimana proses pendidikan dilaksanakan. Henderson dalam Sadulloh (2004) mengemukakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat yang diaplikasikan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan. Peranan filsafat yang mendasari berbagai aspek pendidikan merupakan suatu sumbangan yang berharga dalam pengembangan pendidikan, baik pada tataran teoretis maupun praktis. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir dengan cabang-cabangnya (metafisika, epistemologi, dan aksiologi) dapat mendasari pemikiran tentang pendidikan.
Menurut Brubacher (1959), terdapat tiga prinsip filsafat yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: (1) persoalan etika atau teori nilai; (2) persoalan epistemologi atau teori pengetahuan; dan (3) persoalan metafisika atau teoni hakikat realitas. Untuk menentukan tujuan pendidikan, memotivasi belajar, mengukur hasil, pendidikan akan berhubungan dengan tata nilai. Persoalan kuriikulum akan berkaitan dengan epistemologi. Pembahasan tentang hakikat realitas, pandangan tentang hakikat dunia dan hakikat manusia khususnya, diperlukan untuk menentukan tujuan akhir pendidikan.
Metafisika memberikan sumbangan pemikiran dalam membahas hakikat manusia pada umumnya, khususnya yang berkaitan dengan hakikat anak, yang bermanfaat dalam menentiikan tujuan akhir pendidikan. Mempelajari metafisika perlu sekali untuk mengontrol tujuan pendidikan dan untuk mengetahui bagaimana dunia anak. Epistemologi sebagai teori pengetahuan, tidak hanya menentukan pengetahuan mana yang harus dipelajari tetapi juga menentukan bagaimana seharusnya siswa belajar dan bagaimana guru mengajar. Pendidikan perlu mengetahui persoalan belajar untuk mengembangkan kurikulum, proses dan metode belajar. Aksiologi akan menentukan nilai-nilai yang baik dan yang buruk yang turut menentukan perbuatan pendidikan. Aksiologi dibutuhkan dalam pendidikan, karena pendidikan harus menentukan nilai-nilai mana yang akan dicapai melalui proses pendidikan. Disadari atau tidak, pendidikan akan berhubungan dengan nilai, dan pendidikan harus menyadari kepentingan nilai-nilai tersebut.
Dalam arti luas filsafat pendidikan mencakup filsafat praktek pendidikan dan filsafat ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2001). Filsafat praktek pendidikan membahas tentang bagaimana seharusnya  pendi-dikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia mencakup filsafat praktek pendidikan dan filsafat sosial pendidikan. Filsafat ilmu pendidikan adalah analisis kritis komprehensif tentang pendidikan sebagai bentuk teori pendidikan. Aspek filsafat dalam ilmu pendidikan dapat dilihat berdasarkan empat kategori sebagai berikut: (1) Ontologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan; (2) Epistemologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan; (3) Metodologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan; (4) Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.
Kajian terhadap fisafat pendidikan akan memadukan keempat aspek tersebut di atas sebagai landasan dalam menjawab tiga masalah pokok, yaitu sebagai berikut: (1) Apakah sebenarnya pendidikan itu? (2) apakah tujuan pendidikan sebenarnya? dan (3) Dengan cara apa tujuan pendidikan itu dapat dicapai? (Henderson, 1959). Jawaban masalah pokok tersebut tertuang dalam: (1) Tujuan pendidikan: (2) Kurikulum, (3) Metode pendidikan, (4) Peranan peserta didik; dan (5)  Peran tenaga pendidik.
Dalam sejarah perkembangan filsafat telah lahir sejumlah aliran filsafat. Dengan adanya aliran-aliran filsafat, maka konsepsi mengenai filsafat pendidikan telah dipengaruhi oleh aliran-aliran tersebut. Dengan memperhatikan obyek filsafat dan masalah pokok pendidikan, selanjutnya akan dibahas aliran filsafat idealisme dan realisme dalam melandasi pengembangan teori pendidikan.
2.   Aliran Filsafat Idealisme dalam Pendidikan
Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah: (1) Metafisika-idealisme; Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih dapat berperan; (2) Humanologi-idealisme; Jiwa dikarunai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih; (3) Epistemologi-idealisme; Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat; (4) Aksiologi-idealisme; Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika
Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberi sumbangan yang besar tehadap perkembangan filsafat pendidikan. Kaum idealis percaya bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai potensialitasnya. Oleh karena itu, pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus menekankan kesesuian batin antara anak dan alam semesta. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan pribadi manusia yang ideal. Pendidik yang idealisme mewujudkan sedapat mungkin watak yang terbaik. Pendidik harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sebagai alat.
Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan idealisme adalah sebagai berikut: (1) Tujuan: untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikkan  sosial; (2) Kurikulum: pendidikan liberal untuk pengembangan kemam-puan dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan; (3) Metode: diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan; (4) Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya; (5) Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama dengan alam.

IMAM 4 MAZHAB

Pada dasarnya dalam syari'ah islam tidak ada perbedaan di antara kalangan muslimin ketika rosulullah masih hidup dalam meyikapai suatu hukum karena waktu itu rosulullah sebagi Mambaul Ahkam adalah bagaikan laut untuk orang islam Khususnya sahabat untuk mempertanyakan Masalatud din namun perbedaan itu muncul pada masa khulafaurrosidin,, walaupun tidak terlalu jelas perbedaan tapi hal itu bisa kita lihat sewaktu Saidina Umur pernah merusak Ijtihad sebelumnya yaitu Saidina abu Bakar. Sehingga pada masa para pemikir pemikir islam yang menggunakan metode ijtihad, Kejadian ini adalah indikasi kongkrit yang menjadi rujukan terjadinya perbedaan di kalangan muslim
Ada dua hal yang cukup mempengaruhi ke sepahaman dari kalangan Ulama dan cendikiyawan Muslim pada abad pertama Hijriyah

A : penggunaan metode dari para pemikir pemikir islam yang di gunakan dalam menggenali cabang hukum dari hukum asalnya , salah satu contoh Metode QIYAS yang di gunakan untuk memberikan hukum tertentu dalam satu penomina baik terjadi ketika penyetaraan Illah. Atau satu mazhab yang tidak menggunakan Metode Qiyas untuk sampai hakikat hukum yang masih abrak karena dalil dalil yang mubhem sperti penggunaan metode ISTIHSAN dan ISTISHAB yang mana metode ini tidak di gunakan dalam Mazhab Syafi'ei kendati beliau pernah menjadi murid Imam Maliki

B : Penggunaan metode yang di gunakan atau cara dalam memahami Nash Nash Syari' dalam Al Qur-an dan sunnah
Nah perbedaan di atas salah satu unsur ke tidak sefahaman para Ulama' tercermin dari pemikiran mereka yang rentan oleh satu ke adaan dan lingkunagn dan pada masa apa Ulama' itu hidup masa itu juga akan memepengaruhi pemikiran pemikiran mereka dan perbdaan pemikiran yang di sebabkan hal yang sangat bervariasi baik di sebabkan karena factor internal seperti Biografi para Ulama atau factor external. Seperti masa hidup para ulama tersebut dan lingkungannya atau bahkan suhu politik yeng terjadi pada msa-masa mereka .

Memang tidak bias di pungkiri bahwa latar belakang dan perjalannan hidup seseorang akan mempengaruhi arus fikiran orang itu sendiri, baik dri sikap pandangan terhadap social budaya politik dan bahkan agama, di mana orang itu hdup dan mempijakkan kaki maka lingkup sekelilingnya akan membentuk pola fakir yang akan terus mewarnai hidup, seorang anak yang intkraksi hidupnya berada di bawah naungan seorang jederal maka dg sendirinya akan mengahsilakn beberpa sikap
a : berani
b : Tegas
c : disiplin

berbeda sekali ketiak bocah itu hidup dan berkembang di antara bingkai bandit-bandit maka dengan sendirinya pula akan membentuk pola fakir dan ke jiwaan yang notabene sperti
a : pembohong
b : penakut
c : gak percaya diri

hal seperti ini pula yang membentuk pola fakir para ulama' dan mufti atau bahkan beberapa madhahib islamiyah dengan satu bentuk pemikiran dan sikap, maka bukanlah kontradiktif yang sanagt signifikan ketika salah satu madzhab harus memutuskan satu prblematika yang berbeda dg madzhab lainya, dan perbedaan itu merupakan indikasi kongkrit bahwa islam kafffah ini tidaklah ALLAH turunkan untuk mennyulitkan atau membelenggu jiwa, dengan artian ummah dalam sebagai abid bisa memilih satu madzhab yang menurut mereka fatwah-fatwahnya sesuawai dg jalan mereka.bukankah di madhab ASYAFI"IE terdapat qoul Jadid dan Qodim yang keduanya merupakan bentuk fatwah Imam syafi'ie yang berbeda karena tuntutan satu tempat di mana anatra mesir dan iraq merupakan dua Negara yang masyarakatnya mempunyai beberpa perbedaan baik dalam berfikir,bersosial atauh fatwah imam Imam syafi'ie ini di faktori karena perbedaan kedaanmanusianya dan jenis, dan sifat sifat masyarakat terdapat perbedaan, maka bukanlah suatu perbedaan yang fatal ketika dua pendiri madhab atau bahakan empat sekaligus { HAnafi-Maliki-Syafi'ie-Hambali} mempunyai pandangan yang berbeda dalam satu prblematika saja.
Karena pola fakir sesorang ksususnya madhahibul arba'ah akan berbeda dengan beberap afaktor baik factor ke adaan Ummah yang menuntut dalam satu bentuk atau karena perbedaan interprestasi akan dogma dogma agama, sebatas penasiran ayat atau kalamullah yang merupakan rujukan islam pertama tidak mengabaikan qaidah tafsir atau ta'wil, ayat فاقرأ ما تيسر من القرأن adalah argumentasi inti Al Hanafi ketidak khusan fatihah dlam Sholat dengan mengunakan pemikiran yang gukup logis bahwa menurutnya fatihah tidak wajib dalam sholat karena ada surat-surat atau ayat ayat lain yang lebih mudah untuk di baca oleh Musholli, berbeda dg pendapat yang di kamukakan As Syafi'ei di mana hadis yang di jadika rujukan Assyafi'ei
{ لاصلاة لمن تم يقرأبفاتحة الكتاب} menjadi landasan kuat akan ke khususan Fatiaha dalam sholat dan beliau menegaskan bahwa surat atau ayat lain tidak boleh jadi ganti dri fatihah dg pemikiran A syafi'ei yang juga cukup bisa kita terima secara logis
A : Fatiha adlah Ummul Qur-an
B : FAtihah berada dalam deretan pertama dalamMushab
C : Banyak dalil yang menunjukkan akan ke utama'an fatihah daripada surat-surat lainnya atau ayat-ayat lainnya.

Maka dua pendpat yang berbeda ini yang terjadi dari dua madhab yang paling mashur, banyak pengikutnya bukannlah perbedaan fatal akan tetapi kontradiktif mereka bisa kita jadikan pijakan hukum untuk mengambil yang lebih muktamad menurut dalil dan nalar sesuai tuntutan lingkungan dan zaman. Untuk mengetahui secara rinci pemikiran emapat madhab besar ini maka kita harus mengenali birografi dan krologi satu persatu dari mereka sabagaimana berikut



I : AL HANAFI

Biografi

Nama Asli beliau adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah,(lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Yurisprudensi Islam Hanafi.Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi'in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.


Pemikiran Al Hanafi

Penting untuk di ketahui tempat kelahiran Abu Hanifah ( Kuffah ) merupakan kota penting di Iraq, karena kota ini selain menjadi titik utama perdanagan Afrika Eropa penduduk kuffah juga banyak yang mendalami dan menilik filsafah Yunani dan di sanalah pemikir-pemikir islam berkembang dan saling beradu argumin tentang siyasah {politik} dan tentang ke Uluhiyah{ Ketuhanan}, karena kufah merupkan kota Multi Idiologo. dan paling besar dari penduduknya menagnut faham Syi'ah, Khowarij dan Mu'tazilah

Imam Abu Hanifah selain pelajar .sekaligus pemikir islam yang plaing popular adalah profesinya juga sebagai pedagang, hidup dan bersosial dengan masyarakat kufah yang notabenenya penganut faham idiologi Syi,ah,Khowarij dan Muktazilah di mana yang sangat dominan dari ketiga madzhab ini rujukan permaslahan banayak berlandsan akal, ternyata mengharuskan Abu Hanifa meladeni permainan dari tiga pesaing tebesarnya agar-agar masyarakat Iraq bisa menerima Fatwah fatwahnya yanag lebih shohih yang waktu itu masyarakat Iraq khususnya kufah menjujung tinggi Rasio dengan artian fatwah seorang Mufti atau Ulama' pada masa itu lebih di terima dan di cerna masyarakat Kufah yang di dasari dalil dalil yang logis Daripada berlandsan nash nash mubhem {Abtrak} , maka tak heran jika banyak kita temukan pendapat Abu Hanifah ketika memutuskan suatu penomina lebih masuk akal dari ketiga Madhab lainnya
( Maliki-Syafi"Ei-Hambali)

Bahkan untuk menjajaki madhab yang dominant di kuffah waktu itu Abu Hanifah sampai mengunkan Metode Syukrat ( llih Tarich Madahib Islamiyah. Hal 353 ) dimana metode ini lebih di kenal metode yang masuk akal, selain pengunaan metode itu Imam Abu hanifah di kenal sangat teliti dalam mengali sebuah nash-nash sehingga memungkinkan sampai pada Hakikat dari inti dirosahnya ( Lubbul Haqoiq.}

Selain Abu Hanifah di kenal Ulama' pakar fiqih dia juga di kenal pemikir islam yang elegan dan jawabannya dari setiap pertanyaan ummat islam masa itu sangat memuaskan, maka pantsalah kalau imam Abu Hanifah mepunyai lebih banyak pengikut di banding Madhab lainnya.ada dua guru abu hanifah yang mengantarkan Abu Hanifah menjadi Ulama yang menyusun kitab fikih pertama berdasarkan kelompok atau Bab dan FASAL, yaitu Hmad bin abi Sulaiman sekiatar delapan belas tahun Abu Hanifah berguru kepada Hamad bin Abi sulaiman { lih: Al Madhul Ila dirosah madahib Fiqhiyah. Hal 73} dan Ja'far ash-Shadiq, nama lengkapnya adalah Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib, adalah Imam ke-6 dalam tradisi Islam Syi'ah. Ia lahir di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20 April 702 Masehi (M), dan meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah / 13 Desember 765 M. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah dimakamkan di Pekuburan Baqi', Madinah
Beliau merupakan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam (fiqih).

Aturan-aturan yang dikeluarkannya menjadi dasar utama bagi mazhab Ja'fari atau Dua Belas Imam; ia pun dihormati dan menjadi guru bagi kalangan Sunni karena riwayat yang menyatakan bahwa ia menjadi guru bagi Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki). Perbedaan tentang siapa yang menjadi Imam setelahnya menjadikan mazhab Ismailiyah berbeda pandangan dengan mazhab Dua Belas Imam. Sedang Ja,far sendiri di kanal lihai dalam pemikirannya.

II : AL-MALIKI

Biografi

Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah.Ia lahir pada tahun 93 H di madinah bapak dan ibunya arab tulen tapi silsilah bapaknya bersambung dg Qabilah Yamaniya dan ibunya Qabilah Azid. Yang bernama ALIYAH binti Syarik al Azdiyah.
Mazhab Maliki adalah mazhab ke dua setelah Imam Abu Hanifah, dan bahkan dalam sejarah tercatat Imam Malik juga pernah berguru pada salah satu guru utama Imam Hanafi yaitu Abu Ja'far seorang ulama dari kalangan Syi'ah dan juga bagian dari Imam yang dua belas dalam terminology Syi'ah, secara fatwah Al Maliki sering sejalan dengan Imam Hanafi, ketika Imam hanafi menjawab satu permslahn islam dengan model A mislanya kebanyakan Al Maliki sependapat dengan Al Hanafi, tapi pada dasarnya kalau di analis secara mendalam dan di kaji secara detail arus pemikiran Al Maliki berbeda dengan Al Hanafi. Secara teoritis fatwah atau ketika Alhanafi menyikapi suatu penomina islam Al Hanafi menggunakan teori yang lebih masuk akal ( Rasionalis ) sedang Al Maliki mengunakan teori berdsarkan hadis-hadis dan ma'tsur saja dengan tidak terlalu mengedepankan logis ( Tradisionalis ), banyak factor yang mempengaruhi ke tidak sefahaman pemikiran antara Imam Malik dan Imam Abu Hanifah salah satu factor kecilnya adalah perbedaan tempat dan watak manusia di sekitar mereka dan bahkan budayapun juga ikut mempengaruhi pola pikir yang berbeda diantara dua Imam Besar tersebut, selain tempat ke lahiran Imam Malik yang menjadi penentu pemikiran Imam Malik yang Tradisionalis beliau juga belajar fiqih dan ilmu ynag lain pada sekitar sembilan ratus guru tiga ratus dari kalangan tabi'in dan enam ratus dar Man tabi'ahum ( lih: al Madhul Ila darusatil Mazhab fiqhiyah.hal 140) dari sekian banyak guru di mana Imam Maliki mengais Ilmu-Ilmu dari mereka, namun tidak bisa membentuk pola Fikir Imam Maliki Rasionalis karena guru-guru Imam Hanafi menimalnya adalah Tabiut Tabi'in yang mana mereka masih tidak terlalu menjujung tinggi akalm bukti lain bahwa Imam Hanafi adalah menganut faham dan pemikiran yang Tradisioanalis tulen baliau beranggapan bahwa Perbuatan Muslim Madinah { Amalu Ahlil Madinah } adalah sebuah dalil yang bisa di jadikan acuan dalam permasalahan islam.

Dasar-Dasar pemikiran Mazhab Maliki

Imam Hanafi mempunyai banyak dasar-dasar pemikiran, Dalam Pemikirannya beliau menyimpulkan ada tujuh belas dasar-dasar pemikiran yang di gunakan Imam }A- Nash Al Qur-an}B-Dhohirun Nash Al Umum}C- Dalil Nash/ Mafhum Mukholafah}D- Mafhum Aulawi}E- At Tanbih alal Illah} selanjutnya }F- Nash Sunnah}g-Dhohiruss Sunnah }H-Mfahum Mukholafah }I-Mafhum aulawi Hadis }J- At Tanbih alal Illah Hadis }K-Ijmak }L-Qiyas }M-Amalu Ahlil Madinah }N-Qaulus Shohabat}O- Istihsan }P-Syaddu Diroi' } Q-Istishab.

Karya Besar Imam Malik

Karya Imam Malik Yang sangat menomintal adalah Kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi. menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil.

III : IMAM SYAFI'EI

Biografi

Para Muarrikh Al Islamiyah mengatakan bahwa Imam Syafi'I yang punya nama Asli Muhamad bin Idris bin Usman As Sayafi'ei lahir di Gaza, Palestina, pada tahun 150 H dan Wafat di Mesir pada tahun 204 H namun diantara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan, yang pada thun ini juga i wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.,Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad Imam Syafi'e sudah di tinggal wafat oleh ayahnya sejak beliau mash kecil perkiraan berumur dua tahun belau di bawak oleh ibunya ke MEKKAH dan beliau tumbuh besar di sana,
Imam syafi'e selain sejak kecil telah menghafal Al Qur-an dia juga pakar dalam bidang Etimologi dan Sastra Arab, telah banyak syair-syair yang beliau hafal dan mampu meninterpretasikan artikulasi baik inti atau semi inti dari syair itu kecerdasan, yang paling tampak ke cerdasan Imam Styafi'ei adalah bagaimana dia dalam usia 15 tahun telah di beri kepercayaan oleh gurunya untuk memberikan FaTwah

Pemikiran As Syafi'ei

Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Madhab Asyafi'ei adalah madhab yang juga lahir di antara dua Pimikiran Madhab sebelumnya ( HANAFI dan MALIKI) di mana fiqih Al Hanafi cendrung Rasionalis sedang fiqih Al Maliki cendrung Tradisionalis
Imam Syafi'I tampil dari dua pemikiran dua madhab ini sebagai pembela Sunnah dengan mengkolaborasikan antara tradisonalis dan rasionalis secara produktif.

madhab ini mendudki angka ke dua dari mayoritas pengikutnya bahkan dalam Muqodimahnya Ibnu Qoldum menjelaskan dalam penyebaran Madhab syafi'ie berimbang dengan madhab Al Hanafi hal itu terjadi karena banyaknya Fatwah dan sosialisasi mahhab syafiei dengan memperbanayak diskusi ke Ilmuan di tengah masyarakatm Indikasi lain yang menjadi bukti autentik bahwa imam Syafi'I sebagai penengah dari dua madhab besar ini adalah tempat beliau menimba ilmu dimana imam berpindah pindah dari satu kota ke kota dri satu Negara ke Negara lainnya, berikut uraian tempat tempat beliau yang di ajdikan objeck menggais pengetahuan dari para Faqih

1 : Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Z Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Attha uru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyad

2 : Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam.

3 :Belajar di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya

4 : Belajar di Baghdad, Irak
Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya pada tahun 83 dan tahun 195

5 :Belajar Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.

Inilah beberapa uraian di Mana Imam syafi'ei belajar dan pada siaa pula dia belajar sehingga dari temapat yang Multu culture dan dari guru yang beda watak ini imam Syafi'ei melahirkan sebuah madhab baru sebagai penengah antara yang Rasionalis dan Tradisionalis
Dasar Dasar pemikiran Imam Syafi'ei
Anasir pokok pemikiran Imam Syafi'ei terdiri dari lima lima sumber hokum islam

a. Al Qur-an adalah dasar primer hokum islam sehingga posisinya harus di dahulukan daripada sumber islam lainya sehingga dalam pandangan Syafi'ei jika terjadi pertentangan / Muataarid dengan Sunnah maka Al Qur-an tetap menjadi prioritas utama.

b. Hadis adalah sumber islam ke dua dalam islam pada dasarnya Imam syafiei mensejajarkan kedudukan hadis dengan Al Qur-an karena Hadis itu fungsinya kebanyakan menafsirkan Al Qur-an. Tapi tentunya adalah hadis yang bersetatus shohih^

c. Ijmak consensus ulama terhadap persoalan islam yangv ttidak punya sandaran dalil dalam Al Qur-an dan Hadis Ijmak yang di maksud adalah Kesepakatan Ulama Fiqih yang telah mempunyai ke mampuan tinggi dan ketajaman fikiran dalam analisa terhadap hokum ukum syari-at. ^

d Pendapat Sahabat yang di jadikan dasar ke empat dalam madhab syafi'ei maksudnya perkataan sebagian sahabat nabi dan tidak di ketahuai siapapun yang menentang perkataan itu jika memang terjadi perbedaan pendapat di antara sahabat maka Imam Syafi'ei akan mengambil pendapat yang llebih ekuivalen dengan Al Qur-amn dan Sunnah atau mendapat dukunga dari Qiyas. ^

e- QIyas menganalogukan Penomina Baru yang tidak memiliki sandaran hokum kepada sesuatu yang telah memiliki legalitas hokum secara tektual dari slah satu sumber sebelumnya dalam pandangan Asyafi'ei Qiyas merupakan sumber islam terakhir untuk menjawab problematika yang terjadi dalam islam selama tidak di temukan dasar dari dasar-dasar sebelumnya ( Al Qur-an –Hadis – Perkataan Sahabat- Ijmak) menurutnya tidaklah ummat islam di perbolehkan mengedepankan Qiyas selama masih ada dalil dalam Al Qur-an dan Hadis sebagai mana yang telah di kamukakan dalam kitab Al UM

IV : AL HAMABALI

Biografi
Hambali (Kunyah beliau Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi., Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam Hambali) lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) pada tanggal 20 of Rabiul Awal 164 A.H. (781 M)[1] dan wafat pada tahun 241 Hijrah di kota Baghdad, Irak.
Dalam Mazhab Sunni Imam Hambali adalah Mazhab terakhir, di mana pengikutnyapun lenih sedikit dari imam sebelumnya sekitar 5% dari ummat islam di bawah Imam Malik

Pemikran Al Hambali.
Pola pemikiran Imam Ahmad sebenarnya tidak jauh berbeda denagn pemikiran Imam Syafi'e ( dalam sebagian riwayat Imam Syafi'ei adalah Gurunya ) makanya banyak kita temukan pendepat keduanya sering sering sejalan, indikasi lain bahwa Imam Hambali memeliki pemikiran yang cukup se arus dengan Imam Syafi'ei pengambilan suatu dasar dasar Islam dalam madzhab ini di mana Alqur-an,Hadis, Qiyas dan Qaulu Shohabat denga menjadikan Al qur-an dan Hadis sebagai acuan utumanya walapun antara Imam Hambali dan Syafi'ei ada sedikit perbedaan dalam masalah qiyas tapi tidak bisa memberi cap kalau Pemikiran Hambali berbda dengan Imam Syafi'ei.

Imam Hambali adalah Pendiri Mazhab Hanabilah yang paling kuat menjunjung tinggi dasar Al-Qur-an dan Hadis. Secara garis besarrnya mazhab ini lahir bukan karena factor menengahi pendapat mazhab sebelumnya sebgai mana yang terjadi pada Imam Syafi'ei yang terkesan menjadi penengah anatar Mazhab Hanafi yang berpemikiran Rasionalis dan Maliki yang ber aruskan pemikiran Tradisionalis, akan tetapi lahirnya mazhab ini antara lain di latar belakangi oleh pemikiran Imam Ahamad bin Hambal yang sangat hati-hati dalam menentukan setatus Qot i dari suatu hukum dengan tanpa mengedepankan akal sama sekali dalam kajian Islam, pemikiran Imam yang terkesan bersih terseteril dari logis adalah
a : Imam Ahmad enggan mempelajari Filsafah
b : Imam Ahmad paling tidak suka membukukan Dauh-dauhnya ( Qoulu Ibnu Qoyyim )
c : setiap perkataanya hanya kebanyakan berupa Fatwah bukan kitab
d : Ke exsisan beliau dalam mendalami Al Qur-an dan Hadis saja
Bahkan dalam mempelajari hadis saja sebgai sumber islam utama dalam Mazhab versi Al Hambali, Imam ahmad dalam sejarah perrnah berpindah dari satu negera ke Negara yang lain sebanyak tujuh kali ( 1 Mekkah.2 Madinah. 3 Siria. 4 Yaman. 5 Kuffah,Iraq. 6 Bahsroh. 7 Jazirah.

Patut di catat juga lahirnya Mazhab Hanabilah dengan pemikiran pendirinya,Imam Ahmad bin Hambal juga karena ada unsur lain bukan semata-mata karena membersihkan mazhab terdahulu yang masih terkesan pro Rasionalis walaupun sedikit dengan menjadikan Al qur-an dan Hadis sebagai acuan inti dari semua penomina islam, unsur tersebut adalah di mana pada masa Ahmad bin hambal tersebar faham dengan memahlukkan Al Qur-an dan dan dengan pemikiran Imam Ahmad senduiri dia membela Al- Quran dan menentang Faham-faham yang memahlukan Al –qur-an.

Hal itu terjadi ketika Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi di masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Di masa khilafah Al Ma’mun, orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk.

Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya. Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.

Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.

Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Ia mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat"..
Pendidikan merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Kemajuan yang dicapai peradaban Islam di zaman kekhalifahan tak lepas dari keberhasilan dunia pendidikan. Pada zaman itu, kota-kota Islam telah menjelma menjadi pusat pendidikan dan peradaban yang sangat maju.
Di abad pertengahan, para ilmuwan dan cendekiawan Muslim telah menyusun metode pendidikan atau pembelajaran yang sangat baik. Metode itu disusun agar para siswa bisa memahami dan menyerap ilmu pengetahuan yang diajarkan di madrasah-madrasah dengan mudah.
Berikut ini adalah tiga metode pendidikan yang dicetuskan tiga intelektual Muslim terpadang di zaman kekhalifahan. Mereka adalah Ibnu Sina, Ibnu Khaldun serta Al-Ghazali. Lalu bagaimana gagasan dan pemikiran mereka tentang pendidikan yang baik dan ideal bagi dunia  Islam?
* Ibnu Sina (980 -1037)
Abu ‘Ali al-Husayn bin ‘Abdullah ibnu Sina tak hanya dikenal sebagai seorang dokter legendaris. Ibnu Sina juga mencurahkan gagasannya tentang pendidikan. Menurut Ibnu Sina, pendidikan atau pembelajaran itu menyangkut seluruh aspek pada diri manusia, mulai dari fisik, metal maupun moral.
Pendidikan tidak boleh mengabaikan perkembangan fisik dan apapun yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan fisik seperti olahraga, makanan, minuman, tidur, dan kebersihan,”  tutur Ibnu Sina,
Dalam pandangan Ibnu Sina,  pendidikan tak hanya memperhatikan aspek moral, namun juga membentuk individu yang menyeluruh termasuk, jiwa, pikiran dan karakter.  Menurutnya, pendidikan sangat  penting diberikan kepada anak-anak untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa dewasa.
Ibnu Sina mengungkapkan, seseorang harus memiliki profesi tertentu dan harus bisa berkontribusi bagi masyarakat. Ibnu Sina mengungkapkan pendidikan itu harus diberikan secara berjenjang berdasarkan usia.

- Masa baru lahir hingga umur dua tahun

Dalam pandangan Ibnu Sina, pendidikan harus dilakukan sejak dini, yakni sejak seseorang terlahir ke muka bumi. Pendidikan bagi bayi yang baru lahir, kata dia, bisa diberikan melalui berbagai tahapan kegiatan mengasuh bayi seperti menidurkan, memandikan, menyusui, dan memberikan latihan-latihan ringan bagi bayi.
Menurutnya, bayi harus ditidurkan di ruang yang suhunya sejuk; tidak terlalu dingin dan terlalu panas. Ruang tidur bayi juga harus remang-remang, jangan terlalu terang. Menurut dia, sang ibu harus memandikan bayinya lebih dari satu kali dalam sehari, dia juga harus menyusui anaknya sendiri, dan menentukan takaran menyusui yang dibutuhkan bayi.
Ketika bayi sudah memiliki gigi, maka mulai  diperkenalkan dengan memakan makanan baru yang lebih kuat dari pada ASI. Bayi bisa memakan roti yang dicelupkan dengan air minum, susu, maupun madu. Lalu makanan tersebut diberikan kepada bayi dalam jumlah kecil dan sedikit demi sedikit dia disapih. Sebab penghentian pemberian ASI tidak bisa dilakukan secara drastis.
- Masa kanak-kanak
Menurut Ibnu Sina, masa kanak-kanak merupakan saat pembentukan fisik, mental, dan moral. Oleh karena itu terdapat tiga hal yang harus diperhatikan: Pertama, anak-anak harus dijauhkan dari pengaruh kekerasan yang bisa mempengaruhi jiwa dan moralnya. Kedua, untuk perkembangan tubuh dan gerakannya, anak-anak harus dibangunkan dari tidur.
Ketiga, anak-anak tak diperbolehkan langsung minum setelah makan, sebab makanan itu akan masuk tanpa dicerna terlebih dahulu. Keempat, perkembangan rasa dan perilaku anak-anak perlu diperhatikan.
Ibnu Sina menganggap anak-anak harus mendengarkan musik, sehingga saat berada dalam ayunan mereka tertidur dengan suara musik. Hal itu akan mempersiapkan anak mempelajari musik, selanjutnya dia akan tertarik untuk mempelajari puisi yang sederhana dan akhirnya membuatnya menghargai nilai-nilai kebenaran.

- Masa Pendidikan

Pada masa ini, anak-anak sudah berusia antara 6 hingga 14 tahun. Pada masa ini, anak-anak harus mempelajari prinsip kebudayaan Islam dari Alquran, puisi-puisi Arab, kaligrafi, juga para pemimpin Islam.
Menurut Ibnu Sina, pendidikan pada masa ini harus dilakukan dalam kelompok-kelompok, bukan perseorangan. Sehingga siswa tidak merasa bosan. Selain itu, mereka bisa belajar mengenai arti persahabatan.
- Masa usia 14 tahun ke atas
Pada masa remaja ini, mereka dipersiapkan untuk mempelajari tipe pelajaran tertentu supaya memiliki keahlian khusus. Selain itu, mereka harus mempelajari pelajaran yang sesuai dengan bakat mereka. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk mempelajari dan bekerja di bidang yang tidak mereka inginkan dan mereka pahami. Namun pelajaran dasar harus diberikan kepada mereka.
Ibnu Sina menganggap pendidikan pada anak-anak maupun remaja harus diberikan karena pendidikan itu memiliki hubungan yang erat antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial. Yang paling penting, setiap pelajar harus menjadi seorang ahli dalam bidang tertentu yang akan mendukung pekerjaannya di masa depan.
* Ibnu Khaldun (1332/732H, — 1406/808H)
Ibnu Khaldun dikenal sebagai seorang sejarawan terkemuka. Lewat Kitab Almuqadimmah yang ditulisnya, Ibnu Khaldun menjadi salah  seorang intelektual Muslim legendaris sepanjang masa. Selain berkontribusi pada bidang sejarah, politik dan ekonomi, Ibnu Khaldun pun mencurahkan pikirannya dalam bidang pendidikan.
Pemikirannya dalam bidang pendidikan bermula dari  presentasi ensiklopedia ilmu pengetahuannya. Hal ini merupakan jalan untuk membuka teori tentang pengetahuan dan presentasi umum mengenai sejarah sosial dan epitomologi berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi dua macam, yakni; pengetahuan rasional dan pengetahuan tradisional. Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang diperoleh dari kebaikan yang berasal dari pemikiran yang alami.
Sedangkan pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang subjeknya, metodenya, dan hasilnya, serta perkembangan sejarahnya dibangun oleh kekuasaan atau seseorang yang berkuasa.
Menurut dia, ketika seorang anak baru dilahirkan, maka sang bayi  belum memiliki ilmu. ”Bayi itu seumpama sebuah bahan mentah yang harus diberi isi yang baik supaya menjadi orang dewasa yang berguna kelak,” tutur Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun mengungkapkan, setiap orang mendapatkan ilmu pengetahuan melalui organ-organ tubuh yang diberikan oleh Tuhan. ”Kita belajar menggunakan mata, telinga, mulut, kaki, dan tangan. Semua organ tubuh itu mendukung kita dalam proses pembelajaran demi mendapat ilmu pengetahuan,” ungkapnya.
Ibnu Khaldun juga membagi ilmu pengetahuan berdasarkan tingkat pemikiran yaitu: Pengetahuan praktis yang merupakan hasil dari memahami intelijen. Sehingga membuat kita mampu melakukan apapun di dunia dalam sebuah tatanan.
Pengetahuan tentang apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus tidak kita lakukan. Hal ini berkaitan dengan apa yang baik dan apa yang buruk. Nilai-nilai tentang kebaikan dan keburukan bisa diperoleh dari intelijen empirik dan dapat diterapkan untuk menuntun kita saat berhubungan dengan orang lain.
Menurut dia, mengajarkan ilmu pengetahuan itu sangat penting, karena ilmu pengetahuan akan lebih mudah diperoleh manusia dengan bantuan dan ajaran gurunya.
Metode  Pendidikan Ala Al-Ghazali
Al Ghazali memberi  perhatian yang sangat besar untuk menempatkan pemikiran Islam dalam pendidikan. Menurutnya, seluruh metode pendidikan harus berpegang teguh pada syariat Islam.
Menurutnya, tujuan manusia adalah mencapai kebahagian dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan kata lain, berbagai macam tujuan manusia untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan sosial, ilmu pengetahuan, hanyalah sebuah ilusi jika semua itu hanya berhubungan dan ditujukan untuk pencapaian dunia fana.
Menurut dia, bayi lahir dalam keadaan jernih, lalu tumbuh menjadi anak-anak yang membutuhkan kepribadian, karakter, dan tingkah laku saat hidup dan berinteraksi dengan lingkungan. Keluarga mengajarkan anak-anak tentang bahasa, adat-istiadat, tradisi agama, dan semua pengaruh dari ajaran tersebut tidak mungkin lenyap hingga mereka dewasa.
Oleh karena itu, yang paling bertanggung jawab terhadap buruk atau baiknya pendidikan seorang anak adalah orangtua mereka. Orang tua merupakan mitra dalam mendidik anak-anak dan mereka harus membaginya dengan para guru anak-anak tersebut.
Al-Ghazali menekankan pentingnya pembentukan karakter. Dengan memberikan pendidikan karakter yang baik maka orang tua sudah membantu anak-anaknya untuk hidup sesuai jalan yang lurus. Namun, pendidikan yang buruk akan membuat karakter anak-anak menjadi tidak baik dan berpikiran sempit sehingga sulit membawa mereka menuju jalan yang benar kembali.
Oleh karena itu, anak-anak harus belajar di sekolah dasar sehingga pengetahuan yang diperoleh sejak masih kecil akan melekat kuat bagai ukiran di atas batu. Selain itu, anak-anak juga harus diyakinkan bahwa mereka harus selalu mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
Anak-anak terus berkembang, pada usia remaja mereka akan merasa tertarik dengan lawan jenis, lalu pada usia 20 tahun, mereka merindukan menjadi pemimpin, dan pada usia 40 tahun orang membutuhkan kedekatan dan kesenangan terhadap pengetahuan akan Tuhannya.
Pada masa anak-anak, orang tua harus mengajari mereka ilmu Alquran dan hadis. Selain itu, mereka harus dijaga dari  puisi-puisi cinta. Sebab hal itu, kata dia, bisa menjadi bibit yang buruk bagi jiwa seorang anak laki-laki.
Mereka juga harus diajari mematuhi nasehat orang tua, gurun, serta orang-orang yang lebih tua. Selain itu mereka juga harus diajarkan menjadi orang yang jujur, sederhana, dermawan, dan beradab. Selain itu, anak-anak sebaiknya memiliki teman yang bermoral baik, berkarakter baik, pandai, serta jujur.
Ibnu Khaldun dan Pemikirannya Tentang Filsafat Pendidikan PDF Print E-mail
IBNU KHALDUN DAN PEMIKIRANNYA
TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN

A.    PENDAHULUAN
Rasanya tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa falsafah tentang segala sesuatu bukan tidak lebih penting dari sesuatu itu sendiri, karena falsafahlah yang akan menentukan kemana tujuan dari sesuatu tersebut diarahkan, karena ia merupakan ide atau pembahasan yang sistematis tentang permasalahan yang sedang dihadapi, sebagaimana pula masalah pendidikan.
Brodi, seorang pakar filsafat pendidikan, sebagaimana dikutip Muhaimin dalam bukunya Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, mengatakan bahwa tugas filsafat pendidikan Islam adalah menyelidiki suatu persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika, maupun kombinasi dari semuanya.
Dalam kaitannya dengan pemikiran Ibnu Khaldun mengenai filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa pemikiran yang lahir pada pertengahan abad XIV itu telah mengakomodir ide-ide falsafah pendidikan yang masih aktual sampai hari ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun pada bab IV dari Muqaddimahnya, bahwa ilmu pendidikan bukan sebagai suatu aktifitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan.  Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia, dan ia akan selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia.
Karena disadari atau tidak, sesungguhnya manusia senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan yang disebut “dunia”, karena ketika sekolah dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal, maka sesungguhnya “dunia” merupakan sekolah terbesar bagi manusia, karena di dalamnya dan dari padanya manusia dapat memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Karena itu Ibnu Khaldun berkeyakinan bahwa manusia yang tidak sempat memperoleh pendidikan dari kedua orang tuanya, maka zamanlah yang akan mendidiknya.
Oleh karena pendidikan sesungguhnya tidak pernah mengenal batas usia, tempat dan waktu, sebab sepanjang kehidupannya pada hakekatnya manusia akan selalu berpikir, berkreasi, beraktifitas, memiliki pengalaman-pengalaman, serta tujuan-tujuan hidup yang akan dicapai dengan cara-cara itu atau metode tertentu, yang menurut Ibnu Khaldun tujuan itu adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Berangkat dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba mendiskripsikan pandangan dan ide-ide Ibnu Khaldun tentang falsafah pendidikan yang secara implisit mengacu kepada tujuan sebagaimana tersebut di atas.

B.    IBNU KHALDUN: BIOGRAFI DAN KARYANYA
1.    Biografi Ibnu Khaldun
a.    Asal Usul dan Pendidikannya
Ibnu Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M.  Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
Adapun asal-usul Ibnu Khaldun menurut Ibnu Hazm ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan bahwa: Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman, dan kalau ditelusuri silsilahnya sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin Hujr.  Nenek moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M., karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.
Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla yang pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H.) Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan dan yang paling parah adalah Sevilla. Dalam suasana seperti itu anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.
Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang berarti sehingga datangnya pemerintahan raja-raja kecil (al-Thowalif) dan Sevilla berada dalam kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun meningkat lagi sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun.  Setelah raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith. Pada pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang terhormat.  Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke Tunisia pada tahun 1223 M. nenek moyang Ibnu Khaldun yang pertama mendarat ke Tunisia adalah al-Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain. Kakek Ibnu Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu. Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan, akan tetapi ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak diantaranya: Abu Yazid Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun.
Adapun pendidikan yang diperoleh Ibnu Khaldun diantaranya adalah pelajaran agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu Khaldun juga menghafal al-Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya.  Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral al-Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim al-Abilli. Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan.  Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnu Khaldun meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Marokko, namun dicegah oleh kakaknya, baru tahun 1354 Ibnu Khaldun melaksanakan niatnya pergi ke Marokko, dan di sanalah Ibnu Khaldun mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya. Selama menjalani pendidikannya di Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu: Kelompok bahasa Arab yang terdiri dari: Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra. Kelompok ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh dan ilmu al-Qur’an. Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari: filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas: ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik.  Dalam sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk: bahwa sepanjang hidupnya, dari awal hingga wafatnya Ibnu Khaldun telah dengan sungguh-sungguh mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu.  Sehingga merupakan hal yang wajar apabila dengan kecermelangan otaknya dan didukung oleh kemauannya yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif, hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
b.    Perjalanan dan Pengalaman Hidup Ibnu Khaldun setelah Usia Dewasa
Memasuki tahun ke-20 dari usianya, Ibnu Khaldun mulai tertarik dengan kehidupan politik, sehingga pada tahu 755 H./1354 Ml., karena kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkunya, karena pada tahun 1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk  menggulingkan Amir bersama Amir Abu Abdullah Muhammad, sehingga ia ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi tidak lama kemudian dia dibebaskan, yang kemudian pada tahun itu juga setelah Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh Al-Mansur bin Sulaiman dari menterinya Al-Hasan, maka Ibnu Khaldun menggabungkan diri dengan Al-Mansur dan dia diangkat menjadi sekretarisnya. Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun meninggalkan Al-Mansur dan bekerjasama dengan Abu Salim. Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan prestasinya yang luar biasa, tetapi itupun tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762 H./1361 M., timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana, maka pada waktu itu Ibnu Khaldun meninggalkan jabatan yang disandangnya.
Rupanya tidak tahan lama Ibnu Khaldun bergelut dengan dunia politik dia ingin kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah lama digelutinya. Akhirnya dia memutar haluan bertolak ke daerah Banu Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung ingin menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka dari sinilah ia mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang politik kembali kepada dunia ilmu pengetahuan, dan mulailah ia menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal dengan “Muqoddimah Ibnu Khaldun”. Selama empat tahun tinggal di daerah Banu Arif Ibnu Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al-‘Ibar, akan tetapi karena kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan disanalah ia menyelesaikan karyanya. Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun terganggu lagi ketika Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau, namun karena Ibnu Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka kemudian ia pindah ke Mesir. Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan hangat. Ilmuwan yang sarjana ini sudah tidak asing lagi di sana karena karya-karyanya sudah tersebar di sana. Sebagai orang baru Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting yaitu sebagai hakim tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al-Azhar. Setelah sekian lama berhidmat untuk ilmu dan mengabdi kepada Afrika Utara dan Andalusia ilmuwan besar dan terkemuka itu meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 25 Ramadhan 808 H. bertepatan dengan tanggal 17 Maret 1406 M. dalam usianya yang ke-76, dan dimakamkan di pekuburan orang-orang sufi Babul Nashr di Kairo.
c.     Kepribadian dan Corak Pemikiran Ibnu Khaldun
Sebagai seoang pemikir Ibnu Khaldun memiliki watak yang luar biasa yang kadang terasa kurang baik. Dalam hal ini Muhammad Abdullah Enan melukiskan kepribadian Ibnu Khaldun yang istimewa itu dengan mencoba memperlihatkan ciri psikologik Ibnu Khaldun, walaupun diakuinya secara moral ini tidak selalu sesuai. Menurutnya ia melihat dalam diri Ibnu Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh ambisi, tidak menentu dan kurang memiliki rasa terima kasih. Namun di samping sifat-sifatnya yang tersebut di atas dia juga mempunyai sifat pemberani, tabah dan kuat, teguh pendirian serta tahan uji. Disamping memiliki intelegensi yang tinggi, cerdas, berpandangan jauh dan pandai berpuisi. Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu antara dua tokoh yang saling bertolak belakang, Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd. Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam bidang filsafat. Ibnu Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan Al-Ghozali adalah penentang filsafat Aristoteles yang gigih. Ibnu Khaldun adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa.  Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadari arti pentingnya praduga dan katagori dalam pemikiran untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan intelektual. Barangkali karena itulah seperti anggapan Fuad Baali bahwa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagai upayanya untuk mengganti logika idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik-spiritualistik. Sedangkan logika realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir relatifistik-temporalistik-materialistik.
Dengan berpola pikir seperti itulah Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisa gejala-gejala sosial beserta sejarahnya, yang pada akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang modern.
2.    Karya-karya Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”. Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena karyanya yang pokok (al-‘Ibar), namun pengantar al-‘Ibarnyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya. Sampai-sampai Windellband dalam filsafat sejarahnya menyebutnya sebagai “Tokoh ajaib yang sama sekali lepas, baik dari masa lampau maupun masa yang akan datang”.
Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah memulai kariernya dalam bidang tulis menulis semenjak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ketika ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan. Adapun hasil karya-karyanya yang terkenal di antaranya adalah:
1.    Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum.  Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
2.    Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu jilid  kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).
3.    Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi , merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu dengan yang lain.

C.    PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN
1.    Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Pada bab ini akan dibahas pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada bab empat dari Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa:
Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya.

Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Menurut Ibnu Khaldun bahwa secara esensial manusia itu bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan. Alasan yang dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis binatang, dan Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi akal pikiran. Kemampuan manusia untuk berfikir baru dapat dicapai setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan, yaitu dengan melalui proses; kemampuan membedakan. Sebelum pada tahap ini manusia sama sekali persis seperti binatang, manusia hanya berupa setetes sperma, segumpal darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa mentalnya. Kemudian Allah memberikan anugerah berupa pendengaran, penglihatan dan akal. Pada waktu itu manusia adalah materi sepenuhnya karena itu dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri.  Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia siap menerima apa yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya. Maka dia selalu berfikir tentang semuanya. Dari pikiran ini tercipta berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan. Setelah itu pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi esensinya. Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga pengajaran terhadap gejala hakekat menjadi suatu kebiasaan (malakah) baginya. Ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut. Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan, dan dari sinilah timbul pengajaran.  Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia.
Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang tersirat, dapat diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di dalam pendidikan. Dalam hal ini al-Toumy mencoba menganalisa isi Muqaddimahnya dan ditemukan beberapa tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dijelaskan menurutnya ada enam tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, antara lain:
1.    Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat, sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging, maka ia seakan-akan menjadi fithrah.
2.    Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula dengan apa yang dikatakan Muhammad AR., bahwa hakekat pendidikan menurut Islam sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk kepribadian manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia.
3.    Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4.    Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan. Ditegaskannya tentang pentingnya pekerjaan sepanjang umur manusia, sedang pengajaran atau pendidikan menurutnya termasuk di antara ketrampilan-ketrampilan itu.
5.    Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu.
6.    Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Maka atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu. Karena kematangan berfikir adalah alat kemajuan ilmu industri dan sistem sosial.
Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut prinsip keseimbangan. Dia ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan Islam yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga secara umum dapat kita katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang pendidikan telah sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral.
 2.    Pandangan Ibnu Khaldun mengenai Kurikulum dan Materi Pendidikan
Sebelum membahas pandangan Ibnu Khaldun tentang kurikulum perlu kiranya diberikan pengertian kurikulum pada zamannya, karena kurikulum pada zamannya tentu saja berbeda dengan kurikulum masa kini yang telah memiliki pengertian yang lebih luas. Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan.
Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.  Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur’an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur’an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur’an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain. Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya, mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur’an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu.
Adapun metode yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur’an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur’an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1.    Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits.
Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2.    Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: a. Ilmu logika, b. Ilmu fisika, c. Ilmu metafisika dan d. Ilmu matematika. Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya.
Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1.    Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2.    Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika) 
3.    Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4.    Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama.
Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik.
3.    Pandangan Ibnu Khaldun tentang Metode Pendidikan
Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada buku Muqaddimahnya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita simak bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah diterapkan metode pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode mengajar bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh anak didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimahnya.
Di dalam buku Muqaddimahnya dia telah mencanangkan langkah-langkah pendidikan sebagai berikut:
Pertama: Didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.
Kedua: Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci.
Ketiga: Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna. Demikian itu metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses belajar mengajar.
Disamping itu Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar.  Disamping metode yang sudah disebut di atas Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Dan apabila kita cermati satu demi satu pandangannya tentang kurikulum materi dan metode pendidikan, maka dapat kita tarik suatu kesimpulan  bahwa ilmuan yang diakui Barat dan Timur ini memang memiliki pandangan yang jauh ke depan dalam berbagai masalah pengetahuan, berfikir universal dan sintetik, sehingga filsafatnya tentang pendidikan tidak pernah dirasanya usang bahkan banyak diteladani baik kawan maupun lawan.

D.    KESIMPULAN
Mengakhiri tulisan tentang Filsafat Pendidikan dalam pandangan Ibnu Khaldun ini ada beberapa hal yang menurut hemat penulis perlu mendapatkan perhatian.
Yakni bahwa sebagai ilmuan yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar-dasar dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dari segi metode, materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati.
Walaupun di dalam menuangkan tentang pandangannya terhadap filsafat pendidikan Ibnu Khaldun hanya mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah menyajikan pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia. Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa hidup bermasyarakat.
Sementara itu Ibnu Khaldun  melihat bahwa penguasaan terhadap bahasa merupakan prasyarat bagi keberhasilan suatu pendidikan.
Adapun metode yang ditawarkan Ibnu Khaldun adalah bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahan-kemudahan bagi anak didik, demi terciptanya tujuan pendidikan. Karena menurutnya hakekat  manusia itu adalah jiwanya, sehingga jiwanyalah yang akan menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya, termasuk perbuatan pendidikan.




DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, K.H. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1984.
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Ali, A. Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970.
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Audah, Ali, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, alih bahasa Osman Ralibi,  Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1987.
Enan, Muhammad Abdullah, Ibnu Khaldun: His Life and Work, New Delhi: Kitab Bhavan, 1979.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset I, Yogyakarta: Andi Offset, 1982.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (terj.) Ahmadi Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Muhammad, AR., Pendidikan di Alaf Baru, Yogyakarta: Prisma Sophie, 2003.
Raliby, Osman, Ibnu Khaldun, Tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, Bandung: Diponegoro, 1987.
_______,  Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, Bandung: Diponegoro, 1987.
Thoha, Nashruddin, Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Jaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1979.
Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Grafiti Press, 1985.
IBNU KHALDUN  DAN PEMIKIRANNYA
TENTANG  FILSAFAT PENDIDIKAN