berita baru

Senin, 12 September 2011

Sosialisme Amerika bagi Kaum Kaya

Wawancara & Analisis
Joseph E. Stiglitz

Sosialisme Amerika bagi Kaum Kaya

Ini adalah wilayah di mana iblis masuk dalam detail.

Senin, 22 Juni 2009, 12:51 WIB
Edy Haryadi
VIVAnews - Dengan seluruh percakapan tentang “cahaya hijau” perbaikan ekonomi, bank-bank Amerika kini tengah menekan balik sebagai upaya mengatur dirinya sendiri. Ketika politisi berbicara tentang komitmen reformasi pengaturan untuk mencegah terulangnya krisis, ini adalah wilayah di mana iblis masuk dalam detail –dan bank akan memperlihatkan ototnya untuk memastikan mereka memiliki ruang untuk meneruskan perbuatannya di masa lalu.

Sistem lama bekerja baik untuk para bankir (jika tidak untuk pemegang saham), jadi mengapa harus melakukan perubahan memalukan? Lagi pula, upaya penyelamatan atas diri mereka sangat sedikit pasca krisis sistem finansial yang kita butuhkan untuk mengakhiri sebuah sistem perbankan yang kurang kompetitif, dengan bank-bank besar yang semakin besar semakin mudah roboh.

Sudah diketahui secara umum bahwa bank-bank Amerika terlalu besar untuk  jatuh dan terlalu besar untuk diatur. Inilah salah satu alasan bahwa performa beberapa dari mereka terlihat lebih suram. Karena pemerintah menyediakan asurasi deposito, ini memainkan peran penting dalam restrukturisasi (tidak seperti sektor lain).

Normalnya, saat sebuah bank gagal, teknokrat di pemerintahan akan melakukan langkah restrukturisasi keuangan; jika tidak menaruh uang, tentu menambah tiang pancang di masa depan. Para pejabat paham jika mereka menunggu terlalu lama, zombi atau bank zombie akan seperti menuju “perjudian atau pemberontakan.” Jika mereka menaruh taruhan  terlalu besar dan menang, mereka akan berjalan terus dengan proses ini. Jika mereka gagal pemerintah yang akan mengambil alih.

Ini bukan cuma teori. Ini pelajaran yang kita alami, sebuah pengeluaran besar, selama krisis penyimpanan dan peminjaman pada tahun 1980an. Ketika mesin ATM berkata, “dana tidak efisien,” pemerintah tidak menginginkan arti itu pada bank lebih dari rekening anda, pengeluaran uang, dan pemilik pinjaman menjadi pemegang saham baru. Terkadang, pemerintah harus menyiapkan dana khusus; terkadang mereka mencari investor untuk mengambil alih bank yang gagal.

Pemerintah Obama, biar bagaimana pun, memperkenalkan sebuah konsep baru: terlalu besar untuk melakukan restrukturisasi keuangan. Pemerintah berargumen bahwa semua akan mengalami kerugian seandainya mengikuti aturan biasa untuk menghadapi bank-bank besar. Pasar akan panik. Maka, tak hanya kita tak bisa menyentuh penerima pinjaman, kita juga tak akan mendapat pemegang saham  –meski kebanyakan nilai saham yang ada mencerminkan perjudian penghapusan utang dari pemerintah.

Saya pikir ini putusan yang salah. Saya pikir pemerintah Obama mengalah pada tekanan politik dan panik karena kebesaran bank-bank itu. Sebagai hasilnya, pemerintah kebingungan menghapus utang para bankir dan pemilik saham dengan menolong bank tersebut.

Restrukturisasi memberi bank sebuah kesempatan buat awal yang baru: investor baru potensial (meski menggunakan utang sebagai saham) akan memberi kepercayaan lebih, bank-bank lain akan mau memberi pinjaman, dan mereka akan lebih mau memberi pinjamaran pada lainnya. Penerima pinjaman akan mendapat lebih dari arahan restrukturisasi, dan jika nilai aset benar lebih besar dari kepercayaan pasar (dan analisis luar), mereka akan mendapat imbalan.

Namun sudah jelas bahwa strategi Obama sekarang dan di masa depan memakan ongkos sangat tinggi  –dan sejauh ini, belum didapat pembatasan tujuan untuk memulai pinjaman. Para pembayar pajak harus mengeluarkan milyaran, dan menjaminkan milyaran dana itu sebagai jaminan    --seperti undang-undang baru di masa depan.

Menulis ulang aturan ekonomi pasar –dalam sebuah jalan yang lebih menguntungkan yang menyebabkan lebih banyak luka pada ekonomi secara global-  lebih buruk ketimbang pembiayaan secara finansial. Kebanyakan pandangan Amerika tumbuh soal ketidakadilan, khususnya setelah mereka melihat bank-bank menggelapkan milyaran untuk membayar upah di luar bonus dan dividen. Menyobek kontrak sosial adalah sesuatu yang bisa dilakukan secara ringan.

Tapi ini adalah bentuk kapitalisme semu, yang hilang karena sosialisasi dan privatisasi profit,  sebuah melapateka kegagalan. Kata insentif telah terdistorsi. Tidak ada lagi disiplin pasar. Bank-bank yang terlalu besar untuk direstrukturisasi tahu mereka bisa berjudi dengan pengampunan –dan, dengan pemberian Federal Reserve dengan tingkat bunga hampir mendekati nol, tetap ada dana yang bisa dipermainkan.

Beberapa orang menyebut hal ini sebagai rejim ekonomi baru “sosialisme dengan karakter Amerika.” Tetapi sosialisme amat peduli pada hak-hak istimewa individu. Sebagai gambaran kontras, Amerika hanya menolong sedikit untuk jutaan penduduk yang kehilangan rumah. Para buruh yang kehilangan pekerjaan hanya menerima 39 pekan dana tunjangan, dan mereka harus bisa berusaha sendiri. Dan, ketika mereka kehilangan pekerjaan, kebanyakan dari mereka juga kehilangan asuransi kesehatan.

Amerika tengah memperluas jaminan keamanan perusahaan melalui jalan yang tak pernah diduga, dari komersial bank ke bank investasi, lalu ke asuransi, dan sekarang ke perusahaan otomotif, tanpa berupaya melihat sedikit pun. Bila bicara kebenaran, ini bukan sosialisme namun perluasan masa hidup perusahaan sejahtera. Kaum kaya dan berkuasa kini membutuhkan bantuan pemerintah, padahal banyak orang hanya mendapat sedikit perlindungan sosial.

Kita harus menghentikan bank-bank yang terlalu besar untuk gagal; tidak ada bukti nyata mereka memberi keuntungan sosial dalam ongkos perlakuan yang mereka perbuat. Dan jika kita tidak berhenti menolong mereka, kita kemudian tak punya batasan untuk terus menolong. Mereka tidak bisa dibiarkan untuk melakukan perbuatan di masa lalu –berjudi untuk sejumlah pengeluaran.

Problem lain akan muncul dengan bank-bank terlalu besar untuk gagal, atau bank-bank yang terlalu besar untuk direstrukturisasi: di sini secara politik mereka terlalu kuat. Upaya lobi mereka bekerja dengan baik, pertama untuk membuat deregulasi, dan kemudian memiliki uang pembayar pajak untuk dimainkan. Mereka berharap hal ini akan bekerja kembali sehingga membuat mereka bebas seperti sebelumnya, tanpa mempertimbangkan resiko pada pembayar pajak dan dunia ekonomi. Jelas, kita tak bisa berdiam diri membiarkan hal itu terjadi.

Joseph E. Stiglitz, Professor Ekonomi di Columbia University, Ketua Komisi Ahli yang bertanggungjawab pada Ketua Umum PBB untuk reformasi keuangan internasional dan sistem finansial. Penulis buku Making Globalization Work. Hak cipta ada pada www.projectsyndicate.org

• VIVAnews

Minggu, 11 September 2011

Sekali si pecundang punya hasrat membunuh, segala hal bisa jadi alasan.

Wawancara & Analisis
Ian Buruma

Panggilan Perang

Sekali si pecundang punya hasrat membunuh, segala hal bisa jadi alasan.

Selasa, 9 Agustus 2011, 11:44 WIB
Bonardo Maulana Wahono
VIVAnews - Mari menduga bahwa pendapat Geert Wilders, politikus berkebangsaan Belanda yang meyakini bahwa Eropa tengah mengalami "tahapan akhir Islamisasi", benar adanya: Anders Breivik, pembantai dari daratan Norwegia itu, gila. Wilders berkicau lewat akun Twitter miliknya: "Bahwa seorang psikopat telah mencederai perjuangan melawan Islamisasi adalah sesuatu yang menjijikkan serta menjadi tamparan bagi pergerakan anti Islam di seluruh dunia."

Asumsi itu bisa salah. Menjagal lebih dari 60 remaja tak berdosa di sebuah acara kumpul-kumpul dengan senapan serbu setelah meledakkan kompleks pemerintahan di pusat kota Oslo merupakan tindakan yang ganjil secara moral, untuk menyebutnya secara halus. Tentunya, orang waras tak pernah terpikir melakukan tindakan seperti itu.

Hal yang sama berlaku pula bagi sekelompok pemuda yang memutuskan bunuh diri dan melakukan pembunuhan massal dengan cara menabrakkan pesawat komersil ke beberapa bangunan di New York dan Washington, Amerika Serikat. Namun, baik Breivik maupun para teroris dalam aksi 11 September 2001, tidak melakukan pembunuhan tanpa alasan - tak seperti yang dilakukan oleh para nihilis di Amerika yang menembaki orang tanpa alasan. Para fundamentalis Islam memandang aksi mereka sebagai sebuah taktik di tengah jihad menumpas orang-orang berakhlak rendah, kaum Barat yang berdosa.

Breivik membayangkan dirinya menjelma seorang ksatria bagi pihak lain. Ia bertujuan melindungi Barat dari Islamisasi. Musuhnya tak hanya kaum Muslim tapi juga para elit liberal Barat serta anak-cucu mereka yang mengancurkan Eropa lewat paham "multikulturalisme" dan "Marxisme kultural."

Bahkan, hal yang Breivik tuliskan sebagai manifesto - berjudul Dekalarasi Kemerdekaan Eropa - lebih-kurangnya telah kerap dibicarakan oleh kaum populis macam Geert Wilders. Tentu saja manifesto itu memuat hal lain, seperti fantasi tentang kebangkitan Ksatria Templar. Ada seorang politikus sayap-kanan Eropa yang siap membela Breivik. Ia adalah Francesco Speroni, anggota Partai Liga Utara, Italia, bagian dari pemerintahan Silvio Berlusconi. Speroni menyatakan bahwa gagasan-gagasan Breivik bertujuan "melindungi peradaban Barat."

Jadi, seberapa serius sebenarnya kita mesti menanggapi alasan yang dipakai oleh para pembantai seperti Breivik dan teroris 11 September dalam melangsungkan aksi mereka?

Beberapa tahun lalu, seorang penulis Jerman bernama Hans Magnus Enzensberger dalam esainya menulis tentang "pecundang radikal." Ia merujuk kepada anak-anak muda yang emosinya mudah tersulut oleh lemahnya harkat sosial, ekonomi serta seksual mereka sendiri, pun sikap masa bodoh lingkungan sekitar mereka. Itu sebabnya mereka merindukan tindakan bunuh diri yang punya daya hancur besar.

Tindakan itu dapat dipicu oleh apapun. Contohnya, cinta tak bersambut; kehilangan pekerjaan; atau tak lulus ujian. Kadang, para pembantai itu punya pembenaran ideologis: menegakkan Islam yang murni, berjuang demi komunisme atau fasisme, atau menyelamatkan Barat. Ideal semacam itu mungkin tak penting. Sekali si pecundang punya hasrat membunuh, segala hal bisa jadi alasan.

Mungkin saja.

Tapi, apa sama sekali tak ada simpul yang menghubungkan pandangan para fundamentalis atau politikus di atas dengan aksi-aksi yang dilakukan atas nama pendapat semacam? Karena kini Wilders tengah jadi bulan-bulanan, dan Breivik mengaku bahwa ia mengaguminya, aksi seorang pembantai sakit jiwa semestinya tak dipakai guna mendiskreditkan pandangan Wilders. Lagi pula, tak ada yang tak masuk akal dengan klaim yang menyatakan bahwa multikulturalisme mengandung cela; atau bahwa Islam menentang pandangan Eropa Barat atas persamaan gender atau hak bagi kaum homeseksual; atau bahwa imigrasi massal akan memungkinkan konflik sosial yang gawat.

Klaim-klaim sedemikian mulai diembuskan oleh kaum konservatif yang dihormati, bahkan kaum sosial demokrat, pada tahun 1990an. Mereka bereaksi terhadap sistem liberal yang cenderung menyingkirkan segala kritik tentang imigrasi atau kepercayaan non-Barat serta tradisi sebagai bentuk rasisme dan fanatisme.

Namun, sementara membicarakan konsekuensi sosial dari imigrasi besar-besaran yang berlangsung dari negara-negara Islam bukanlah sesuatu yang salah, beberapa kaum populis di Belanda, Denmark, Perancis, Jerman, Belgia, Inggris, dan negara lain, bertolak lebuh jauh. Wilders, khususnya, gemar mendengungkan istilah "cahaya Eropa mulai meredup" dan "kelangsungan Barat yang nyata." Masalahnya tak hanya pada adanya sebentuk Islam revolusioner, namun juga Islam itu sendiri: "Jika kita ingin mencari bandingan bagi Islam, berpalinglah pada komunisme atau sosialisme nasional - ideologi totaliter."

Ini adalah ekspresi perang eksistensial, dari sisi yang berbahaya. Tapi, kosa kata dari masa Perang Dunia Kedua memang tengah digembar-gemborkan. Pihak-pihak yang menentang kebencian atas semua bentuk Islam disebut "juru damai", atau "kolaborator" atau "fasisme Islam." Bagi beberapa kalangan, tragedi 11 September 2001 tak berbeda dengan insiden 1938, atau 1940. Kelangsungan peradaban Barat dalam bahaya. Apakah sebuah hal yang mengejutkan jika ada pihak yang menyalahartikan retorik ini sebagai

Yang pasti, baik Geert Wilders atau narablog anti-Islam di AS seperti Scott Spencer dan Pamela Geller (keduanya sering disebut-sebut dalam manifesto Breivik) tak manganjurkan kekerasan fisik. Namun, tulisan-tulisan dan pernyataan mereka telah mampu memicu orang lain bersikap berat sebelah. Penafsiran Breivik atas pernyataan-pernyataan mereka kiranya lebih masuk akal dari gagasan bahwa kata-kata belaka dapat menyelamatan kelangsungan kita.

--

Ian Buruma adalah Guru Besar Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Bard College, serta Penulis "Taming the Gods: Religion and Democracy on Three Continents."

Artikel ini diterjemahkan dari www.project-syndicate.org

• VIVAnews

Harga Tragedi 9/11

Harga Tragedi 9/11

Perang di Afghanistan dan Irak telah melemahkan ekonomi makro AS.

Senin, 5 September 2011, 14:02 WIB
Bonardo Maulana Wahono
VIVAnews - Peristiwa 11 September 2001, yang dikenal dengan Tragedi 9/11, merupakan ulah Al-Qaeda untuk mencederai Amerika Serikat. Tentu saja, niat itu berhasil. Namun, Osama bin Laden tak pernah membayangkan efeknya. Reaksi Presiden AS ketika itu, George W. Bush, menodai prinsip dasar negeri Paman Sam, menggerogoti perekonomian bangsa itu, serta melemahkan keamanan.

Serbuan ke Afghanistan pasca serangan teroris masih bisa dipahami. Tapi, invasi ke Irak sungguh tak ada kaitannya dengan Al-Qaeda - bagaimanapun kerasnya Bush berupaya mencari-cari hubungannya. Kemudian, perang AS melawan Irak menjadi amat mahal - yang pada awalnya membutuhkan lebih dari US$60 miliar (Rp551,5 triliun).

Ketika saya dan Linda Bilmes menghitung biaya perang yang mesti dikeluarkan AS tiga tahun lalu, angka kasar berada di kisaran US$3-5 triliun. Sejak itu, anggaran kian meningkat. Dengan nyaris 50 persen jumlah tentara yang kembali dan bisa menerima santunan cacat tubuh dan lebih dari 600 ribu veteran yang menjalani perawatan medis, kami menduga bahwa uang bagi tentara yang cacat dan biaya kesehatan akan mencapai sekitar US$600-900 miliar.
Di luar itu, biaya sosial yang muncul seperti tindakan bunuh diri yang diambil oleh para veteran perang (yang beberapa tahun belakangan menyentuh 18 kejadian per hari) dan retaknya rumah tangga tak bisa dihitung secara pasti.

Bahkan, jika Bush mendapatkan maaf atas jasanya menyertakan AS dan negara-negara lain dalam perak melawan Irak, tak ada ampun bagi Bush atas cara yang ia pilih untuk membiayai perang. Sepanjang sejarah, perang Bush itu adalah satu-satunya yang dibiayai sepenuhnya dari pinjaman. Pada saat AS tengah berperang, dengan defisit yang kian meningkat setelah pemotongan pajak di tahun 2001, Bush memutuskan bahwa golongan kaya di negeri itu pantas mendapatkan keringanan pajak.

Hari-hari ini, AS tengah berkutat dengan pengangguran dan defisit. Ancaman yang bisa menjatuhkan AS di masa mendatang dapat dilacak hingga perang di Afghanistan dan Irak. Melonjaknya belanja pertahanan, bersamaan dengan pemotongan pajak, merupakan faktor kunci yang menguak penyebab mengapa AS beringsut dari yang mulanya mencetak keuntungan fiskal hingga 2 persen dari PDB ketika Bush terpilih menjadi dirongrong utang. Belanja langsung pemerintah untuk kedua perang itu mencapai kira-kira US$2 triliun - US$17.000 per keluarga.

Selain itu, saya dan Bilmes menegaskan dalam buku kami yang berjudul "The Three Million Dollar War" (Perang Tiga Juta Dolar) bahwa perang di Afghanistan dan Irak telah melemahkan ekonomi makro AS dan memperuncing defisit serta utang. Kini, gejolak di Timur Tengah memicu membubungnya harga minyak. Bangsa Amerika dituntut mengeluarkan uang lebih banyak demi mengimpor minyak. Padahal, mereka bisa memakai uang itu untuk membeli lebih banyak produk domestik.

Namun, Bank Sentral AS (Federal Reserve) menyembunyikan keburukan itu dengan menciptakan gelembung kredit perumahan yang akhirnya mendorong ledakan konsumsi. Butuh bertahun-tahun untuk mengatasi masalah itu.
Kacau Balau
Ironisnya, perang itu telah bikin keamanan AS (dan dunia) kacau-balau lagi-lagi dengan cara yang tak pernah dibayangkan oleh Bin Laden. Perang yang tak populer akan menyulitkan perekrutan tentara. Tapi, selagi Bush mencoba mengakali Amerika tentang biaya perang, ia tak memberikan sokongan dana cukup bagi para prajurit.
Ia menolak memberikan pengeluaran standar yang dibutuhkan untuk, misalnya, kendaraan lapis baja yang anti-ranjau guna melindungi pasukan. Atau, setidakya, menyediakan cukup tunjangan kesehatan bagi para veteran. Ada pengadilan di AS yang baru-baru ini menyatakan bahwa hak-hak para veteran telah dilanggar. (Hebatnya, pemerintahan Obama meminta bahwa hak veteran mengajukan banding mesti dibatasi!)

Kegagalan militer telah memunculkan kecemasan atas penggunaan kekuatan militer. Dan hal ini cenderung mengancam keamanan Amerika. Namun, kekuatan Amerika yang sejati adalah, melebihi ketangguhan militer dan ekonomi, kekuatan lunaknya: otoritas moral.
Dan, yang satu itu pun telah dilemahkan: seketika setelah AS melanggar hak asasi manusia yang mendasar seperti hak untuk tak mengalami siksaan, dunia sontak mempertanyakan komitmennya kepada hukum internasional.

Di Afghanistan dan Irak, AS dan sekutu-sekutunya tahu bahwa untuk mendapatkan kemenangan jangka panjang, hati dan pikiran harus dicuri. Namun, kesalahan demi kesalahan yang dilakukan pada awal perang memperumit perang yang telah pelik itu.
Efek samping yang ditimbulkannya dahsyat: lebih dari satu juta warga Irak tewas, langsung atau tak langsung, akibat perang. Menurut beberapa kajian, sekitar 137.000 warga sipil tewas dengan mengenaskan di Irak dan Afghanistan dalam 10 tahun terakhir. Di antara bangsa Irak sendiri, 1,8 juta pengungsi mencari tempat aman dan 1,7 juta lainnya kehilangan tempat tinggal.

Tak semua konsekuensi berujung bencana. Defisit yang dialami Amerika agaknya akan menimbulkan kendala anggaran. Belanja militer AS nyaris menyamai belanja militer dunia jika disatukan dua dekade setelah era Perang Dingin berakhir.
Beberapa peningkatan belanja anggaran ditujukan ke Irak, Afghanistan dan Perang Global Melawan Terorisme. Namun, banyak dana yang terbuang sia-sia demi senjata akan dipakai untuk membinasakan musuh, yang jelas-jelas tak ada. Kini, dana itu akan didistribusikan ulang, dan AS kiranya akan mengeluarkan biaya lebih kecil untuk mengusahakan keamanan dalam negerinya.

Al-Qaeda tak lagi jadi menyembul jadi ancaman besar setelah peristiwa 11 September 10 tahun silam. Namun, harga yang harus dibayar begitu besar. Kita akan hidup dengan warisan yang ditinggalkannya dalam waktu lama. Berpikir sebelum bertindak memang ternyata penting.

--

Joseph E. Stiglitz adalah Profesor di Columbia University, peraih Nobel di bidang ekonomi, serta pengarang "Freefall: Free Markets and the Sinking of the Global Economy".

Artikel ini diterjemahkan dari laman www.project-syndicate.org

• VIVAnews

Sabtu, 10 September 2011

Ini Dia 9 Teori Konspirasi Terkait Runtuhnya WTC

Sssttt... Ini Dia 9 Teori Konspirasi Terkait Runtuhnya WTC

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Serangan teror Alqaidah ke menara kembar WTC di Manhattan AS memicu banyak teori konspirasi. Berikut 9 konspirasi yang ditimbulkan oleh serangan dahsyat yang menewaskan sekitar 3.000 orang tersebut.
1. AS Sudah Mengetahui Akan Diserang
Presiden AS saat itu, George W Bush mengatakan bahwa tidak ada seseorang pun di pemerintahannya yang membayangkan negara superpower itu bakal diserang lewat pesawat yang menubruk gedung pencakar langit.  Namun beberapa pekan sebelumnya, ketika Bush dan sejumlah pemimpin G8 di Genoa, Italia, sudah memperhitungkan skenario tersebut. Mereka menempatkan misil antipesawat di dekat tempat pertemuan. Sebelumnya, Italia mendapat ancaman akan diserang lewat pesawat.
2. WTC Runtuh Karena Bahan Peledak
Sejumlah fisikawan maupun penggemar teori konspirasi dan pakar teknik sipil percaya gedung WTC diledakkan dari dalam. Bukan karena semata ditubruk pesawat. Ini berasal dari teknik bangunan WTC yang tertanam kokoh tapi hancur hingga ke dasar. Menurut mereka, ada sejumlah besar bahan peledak disimpan di WTC di tempat-tempat strategis.
3. Pialang Saham Berperan
Sebelum 9/11 memang ada aksi pasar saham yang memberi dampak cukup luas. Misal: saham United Airlines dan American Airlines yang pesawatnya dibajak, saham mereka dilepas cukup besar sebelum 9/11. Sementara perusahaan keamanan, di sisi lain yang bakal meraup untung pascaserangan WTC, juga mengalami kebanjiran order saham. Saham Morgan Stanley, yang berkantor di WTC juga mengalami aksi jual besar-besaran.
4. Pesawat Sebenarnya Bisa Ditembak
NORAD (Komando Pertahanan Amerika Utara) seharusnya mampu menembak pesawat-pesawat yang dibajak atau mampu menghalau pesawat itu mendekati targetnya. Namun NORAD tidak melakukan hal ini dan mereka terlambat mengetahui ada pembajakan pesawat.
5. Pesawat di Pentagon
Teori lainnya mengatakan Pentagon tidak diserang oleh pesawat American Airlines Flight 77. Argumentasinya, Petagon adalah gedung paling aman di dunia, memiliki ribuan kamera pengintai. Tapi tidak ada satupun kamera yang menangkap pesawat bakal menghantam Pentagon. Teori konspirasi menghubungkan serangan Pentagon dengan adanya oknum AS yang menembakkan misil ke markas Dephan itu.
6. Kotak Hitam
Setiap pesawat memiliki dua kotak hitam yang menyimpan informasi penerbangan. Anehnya, tidak ada satupun kotak hitam dari dua pesawat yang menghantam gedung WTC. Namun belakangan, para pekerja yang membersihkan sisa sisa WTC mengatakan mereka menolong agen federal mengambil tiga dari empat kotak hitam di sana.  Dan kotak hitam di Pentagon pun diklaim sudah sangat rusak untuk dibaca. Kotak hitam yang bisa dibaca umum hanyalah dari United 93 yang jatuh di Pennsylvania.
7. Aksi CIA dan Mossad
Mantan presiden Italia ikut memberi teori konspirasi. Menurut dia, ada informasi dari kaum kiri Italia yang menyatakan CIA dan Mossad ada di belakang serangan WTC. Sehingga mereka menjadikan Islam dan Muslim sebagai kambing hitam. Bahkan lembaga intelejen Pakistan Inter-Service Intelligence mengklaim tahu ada rencana tersebut.
8. Bukan Pesawat, Tapi Misil
Dengan asumsi badan pesawat terbuat dari alumnium yang kekuatannya rendah untuk meruntuhkan WTC, maka ada sejumlah pihak yang menilai jangan-jangan bukan pesawat yang menabrak WTC tapi sebuah misil dengan efek hologram menyerupai pesawat. Teori ini didukung dari analisis frame per frame siaran tabrakan itu yang menunjukkan bentuk pesawat lebih menyerupai selongsong cerutu yang lonjong
9. Demi Minyak
Menghancurkan WTC akan membuka jalan bagi negara-negara barat untuk menguasai aset-aset minyak di Timur Tengah. Penggemar teori konspirasi yakin para perusahaan minyak raksasa memiliki sumber daya untuk membuat serangan tersebut.