berita baru

Selasa, 11 Januari 2011

Tokoh Tasawuf Hasan Al-Basri

A. Latar Belakang
Sejarah historis ajaran tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan Rosulluhan saw, baik sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan Rosul, perilaku dan Nabi Muhammadlah yang dijadikan suri tauladan utama bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang bersifat konseptual. Tasawufpada masa Rosulluhan SAW adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh sahabt – sahabat Nabi tanpa terkecuali. Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama sekali melembagakan tasawuf dengan cara mendirikan madrasah tasawufadalah Huzaifah bin Al-Yamani[1], sedangkan Imam Sufi yang pertama dalam sejarah Islam adalah Hasan Al-Basri ( 21-110 H ) seorang ulama tabi'in, murid pertama dari Huzaifah bin Al-Yamani, beliau dianggap tokoh sentral dan yang paling pertama meletakkan dasar metodologi ilmu tasawuf. Hasan Al-Basri adalah orang yang pertama mempraktekkan, berbicara menguraikan maksud tasawufsebagai pembuka jalan generasi berikutnya.
  1. Biografi Hasan Al-Basri
Nama asli dari Hasan Al-Basri adalah Abu Sa'id Al Hasan bin Yasar. Baliau dilahirkan oleh seorang perempuan yang bernama Khoiroh, dan beliau adalah anak dari Yasaar, budak Zaid bin Tsabit[2], tepatnya pada tahun 21 H di kota Madinah setahun setelah perang shiffin, ada sumber lain yang menyatakan bahwa beliau lahir dua tahun sebelum berakhirnya masa pemerintahan Khalifah Umar bin Al- Khattab[3]. Khoiroh adalah bekas pembantu dari Ummu Salamah yang bernama asli Hindi Binti Suhail yaitu istri Rosullullah SAW. Sejak kecil Hasan Al-Basri sudah dalam naungan Ummu Salamah. Bahkan ketika ibunya menghabiskan masa nifasnya Ummu Salamah meminta untuk tinggal di rumahnya. Dan juga nama Hasan Al-Basri itupun pemberian dari Ummu Salamah. Ummu Salamahpun terkenal dengan seorang puteri Arab yang sempurna akhlaknya serta teguh pendiriannya. Para ahli sejarah menguraikan bahwa Ummu Salamah paling luas pengetahuannya diantara para istri-istri Rosullah SAW lainnya. Seiring semakin akrabnya hubungan Hasan Al-Basri dengan keluarga Nabi, berkesempatan untuk bersuri tauladan kepada keluarga Rosullulahdan menimba ilmu bersama sahabat di masjid Nabawy.
Dan ketika menginjak 14 tahun, Hasan Al-Basri pindah ke kota basrah ( Iraq ). Disinilah kemudian beliau mulai dengan sebutanHasan Al-Basri. Kota Basarha terkenal dengan kota ilmu dalam daulah Islamiyyah. Banyak dari kalangan sahabat dan tabi'in yang singgah di kota ini. Banyak orang berdatangan untuk menimba ilmu kepada beliau. Karena perkataan serta nasehat beliau dapat menggugah hati sang pendengar.
Kemudian pada tahun 110 H, tepatnya pada malam jum'at diawal bulan Rajab beliau kembali ke rahmatullah pada usianya yang ke 80 tahun[4]. Banyak dari penduduk Basrah yang mengantarkan sampai ke pemakaman beliau. Mereka merasa sedih serta kehilangan ulama besar, yang berbudi tinggi, soleh serta fasih lidahnya.
II. Pemikiran Tasawufnya
Dalam pengenalan Tasawuf beliau mendapatkan ajaran tasawufdari Huzaifah bin Al-Yaman[5], sehinggan ajaran itu melekat pada dirinay sikap maupun perilaku pada kehidupan sehari-hari. Dan kemudian beliau dikenal sebagai Ulama Sufi dan juga Zuhu[6]d.Dengan gigih dan gayanya yang retorik, beliau mampu membawa kaum muslim pada garis agama dan kemudian muncullah kehidupan sufistik.
Dasar pendirian yang paling utama adalah Zuhud terhadap kehidupan dunia, sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan dunia.Hasan Al Basri mangumpamakna dunia ini seperti ular, terasa mulus kalau disentuh tangan, tetapi racunnya dapat mematikan. Oleh sebab itu, dunia ini harus dijauhi dan kemegahan serta kenikmatan dunia harus ditolak. Karena dunia bisa membuat kita berpaling dari kebenaran dan membuat kita selalu memikirkannya.
Prinsip kedua ajaran Hasan Al basri adalah Khauf dan Raja', dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering melalaikan perintah Allah. Merasa kekurangan dirinya dalam mengabdi kepada Allah, timbullah rasa was was dan takut, khawatir mendapat murka dari Allah. Dengan adanya rasa takut itu pula menjadi motivasi tersendiri bagi seseorang untuk mempertinggi kualitas dan kadar pengabdian kepada Allah dan sikap daja' ini adalah mengharap akan ampunan Allah dan karunia-NYA. Oleh karena itu prinsip-prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan muhasabah agar selalu mamikirkan kehidupan yang hakiki dan abadi.
III. Corak Pemikiran Tasawufnya
Hasan Al Basri adalah seorang sufi angkatan tabi'in, seorang yang sangat takwa, wara' dan zuhud pada kehidupan dunia yang mana dikala masanya banyak dari kalangan masyarakt khususnya dari kalangan atas yang hidup berfoya-foya. Yang mana kezuhudan itu masih melekat ajarannya dari para ulama-ulama lainnya pada masa sahabat. Yang mana ajran beliau masih kental ataupun berdasarkan Al Qur'an dan Hadist nabi, untuk itu beliau termasuk golonganTasawuf Sunni.
IV. Karya-karyanya
Banyak dari buku atau kitab para ulama-ulama yang membahas tentang kebajikan, kesuhudan serta berbagai hal yang mengarah kepada kebesaran nama Hasan Al Basri. Yang mana berkat perjuangan beliau berdampak kepada perubahan masyarakat Islam kepada suatu hal yang lebih baik. Dan juga menjadi tongkat estafet bagi ulam-ulama setelah beliau dalm menerapkan mendefinisikan sehingga sebagai pembuka jalan generasi berikutnya. Dan jarang dari buku atau kitab para ulam-ulam yang membahas tentang karya-karya beliau. Karena keterbatasan kemampuan, penulis belum bisa memaprkan karya-karya beliau tapi ada ajaran beliau yang menjadi pembicaraan kaum sufi adalah:
“ Anak Adam!
Dirimu, diriku! Dirimu hanya satu,
Kalau ia binasa, binasalah engkau.
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu.
Tiap-tiap nikmat yang bukan surga, adalah hina.
Dan tiap-tiap bencana yang bukan neraka adalah mudah”.[7]
A. KESIMPULAN
Hasan Al-Basri adalah Abu Sa'id Al Hasan bin Yasar. Baliau dilahirkan oleh seorang perempuan yang bernama Khoiroh, dan beliau adalah anak dari Yasaar, budak Zaid bin Tsabit pada tahun 21 H di kota Madinah. Dan ketika menginjak 14 tahun beliau pindah ke kota Basrah (Iraq). Tepat pada malam Juan`at di awal bulan Rajab sekitar tahun 110 H, beliau kembali ke rahmatulloh pada usia yang ke 80 tahun. Dasar pendirian yang paling utama hádala Zuhud terhadap kehidupan dunia. Prinsip ajarannya hádala khauf dan raja`, dengan pengertian merasa takut lepada siksa Allahkarena berbuat dosa dan sering melalaikan perintah Allah. Dan beliau termasuk golongan sunni, karena berpondasi ataupun berdasarkan Al-Quran dan Hadist Nabi. Untuk karya-karya beliau yang berbentuk buku penulis belum bisa memaparkan akan tetapi banyak dari kitab ulama` yang membahas tentang kebijakkan, kezuhudan, serta berbagai hal yang mana mengarah lepada kebesaran nama beliau.
Dari sini penulis memetik pelajaran bahwasanya janganlah terlena dengan kenikmatan dunia yang kenikmatannya semu dan sementara yang mana menjadikan kita terlena. Kita harus banyak berbuat untuk kebaikan dan kemaslakhatan bersama , karena sebaik-baiknya orang hádala yang bermanfaat bagi yang lain. “Biarkan orang gembira dan kita menanggis ketika kita lahir di dunia, akan tetapi buat orng menanggis dan kita gembira kitika kita meninggal dunia karena aml-amal sholeh kita.
REFERENSI
1. Drs. H. A. Mustofa. Akhlak TasawufPustaka Setia Bandung. cet IV
2. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Dr. Mukhtar Solihin, M.Ag,Kamus TasawufRemaja Rosdakarya, Bandung 2002
3. Dr. Rosihon Anwar, Dr. Mukhtar Solihin, M.Ag. IlmuTasawufPustaka Setia. Bandung 2000
4. Drs. H. AbuddinNata, M.A. Akhlak Tasawuf. PT. Raja Granfindo Persaja. Jakarta 1997. cet II
5. Hamka. Tasawuf pengembangan dan pemurniannya. PT. Pustaka Panjimas. Jakarta 1983
6. Isa, Ahmadi. Tokoh-tokoh sufi Tauladan Kehidupannya yang Saleh. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta 2000
  1. Wisdom Of Hasan Al-Basri Nasehat-Nasehat Penerang Hati. PT Serambi Ilmu Semesta Jakarta 2008
  2. WaLLohu ta`a a`lamtohaachmad. wordpress.com
  3. www. Sunnah.org/history/Scholars/hasan al basri
  4. darisrajih. Wordpress.com

[1] Drs. H. A. Mustofa. Akhlak Tasawuf. Pustaka Setia Bandung. 1997 cet I hal 214
[2] pannerans. Multiply. com
[3] Wisdom Of Hasan Al-Basri Nasehat-Nasehat Penerang Hati. PT Serambi Ilmu Semesta Jakarta 2008
[4] max166.blogspot.com
[5] Drs. H. A. Mustofa. Akhlak Tasawuf. Pustaka Setia Bandung. cet IV hal 214
[6] Untuk keterangan lebih lanjut lihat Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Dr. Mukhtar Solihin, M.Ag, Kamus Tasawuf. Remaja Rosdakarya, Bandung 2002. hal 270-271
[7] Ibid hal 76

Hasan Basri dalam Sejarah Ilmu Tasawuf


Hasan Basri (21-110 H./642-728 M.) yang nama lengkapnya Abu Sa’id Hasan Basri adalah seorang yang terkemuka di kalangan tabi’in. Ia sangat terkenal di bidang ilmu tauhid, ilmu fikih, bahkan dalam bidang ilmu tasawuf namanya sangat dikenal. Kelebihan ini diperolehnya karena ia langsung bertemu dengan tiga ratus orang sahabat dan tujuh puluh orang sahabat yang ikut dalam pertempuran Badar, dan langsung menimba ilmu pengetahuan agama dari Abu Zar al-Gifari dan Huzaifah bin Yaman.

Ayahnya bernama Yasar salah seorang perajurit Kerajaan Persia yang ditawan yang berasal dari Maisan dan dibawa ke Medinah, yang kemudian memeluk Islam dan menjadi maula (anggota keluarga) Zaid bin Tsabit. Ia dikawinkan dengan seorang wanita maula Umu Salmah yang bernama Khairah. Dari perkawinan ini lahirlah Hasan Basri yang dilahirkan di Medinah pada tahun 21 H./642 M. Dalam usia belasan tahun ia berada di Mekah kemudian dibawa oleh ayahnya berpindah ke Basrah. Di kota itu ayahnya membuka usaha dagang sehingga menjadi seorang yang kaya raya. Hasan Basri seorang anak yang sangat cerdas dan berbudi luhur, karena ia mendapat pujian dai Ali bin Abi Thalib ketika berkunjung ke Basrah. Pada suatu hari, Ali bin Abi Thalib masuk ke dalam sebuah mesjid di kota Basrah, dilihatnya banyak anak-anak sedang asyik bercerita dalam mesjid itu. Ali bin Abi Thalib mengusir anak-anak itu tetapi ketika ia sampai kesatu kelompok yang sedang mengelilingi seorang anak yang tampan yang sedang bercerita ialah Hasan Basri, Ali sangat tertarik kepada ceritanya. Namun, untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban dalam mesjid, ia mengemukakan pertanyaan: Hai anak muda, aku ingin bertanya kepadamu dua perkata, kalau engkau dapat menjawabnya akan kubiarkan kau berbicara terus, tetapi kalau kau tidak dapat menjawabnya akan kukeluarkan dari mesjid ini. Anak itu berkata: bertanyalah wahai Amiral Mukminin. Ali bberkata: ceritakan kepadaku apa-apa yang menyebabkan agama itu baik dan apa pula yang menyebabkan agama itu rusak. Anak muda itu menjawab: yang menyebabkan agama itu baik adalah hidup wara’ (hanya mengambil yang halal) dan yang merusak agama adalah hidup tamak (rakus). Ali berkata: kau bena dan silakan meneruskan ceritamu.
Hasan Basri sempat menyaksikan pelbagai peristiwa yang sangat memilukan di kalangan umat Islam. Ia menyaksikan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, peristiwa Waq’utul Jamal, pertempuran Siffin dan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib dan ia pernah dikirim sebagai salah seorang prajurit ke Asia Tengah dan pernah menjabat sekretaris gubernur Asia Tengah.
Dalam usia dua puluh tahun ia kembali ke Basrah membuka khalaqat (pengajian) di mesjid Basrah dan dihadiri oleh banyak pengunjung. Syahrastani menulis dalam bukunya “Al-Milal wan Nihal” menceritakan pada suatu hari salah seorang meridnya yang bernama Washil bin Atha (80-131 H.) datang menemuinya dan bertanya: Wahai pemuka agama telah lahir di zaman kita ini sekelompok orang yang mengkafirkan setiap orang yang melakukan dosa besar. Dosa besar menurut mereka yang menyebabkan kekafiran dan kelompok ini adalah kaum Khawarij. Ada lagi sekelompok orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah tentang orang yang berbuat dosa besar. Menurut mereka dosa besar tidak mempengaruhi iman, karena perbuatan menurut mereka tidak termasuk rukun iman, iman tidak akan rusak karena berbuat dosa besar demikain juga ketaatan tidak rusak oleh kekafiran. Kelompok ini dinamakan Murjiah. Karena itu bagaimana pendapatmu tentang pendirian dari kedua kelompok ini?
Hasan Basri berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban pertanyaan itu. Namun Washil bin Atha lebih dahulu menjawab pertanyaannya sendiri katanya: Kukatakan orang yang melakukan dosa besar masih dianggap beriman dan bukan kafir. Setelah mengucapkan ucapan itu ia keluar dari mesjid dan ia mempertahankan pendiriannya di hadapan murid-murid Hasan Basri. Hasan Basri berkata: Telah memisahkan diri (i’tazala) Washil dari kelompok kita. Karena itu Washil dan teman-temannya yang sama pendiriannya dengan Washil dinamakan Mu’tazilah yakni orang yang memisahkan diri dan pendiriannya yang mengatakan orang yang berbuat dosa besar bukan muslim penuh dan bukan pula kafir penuh tetapi berada pada dua posisi (baina manzilatain)
Hasan Basri sebagai tokoh terbesar pada zamannya tidak meninggalkan sebuah tulisan jua pun, namun keterangan dan pemikirannya dikutip oleh sejumlah murid-muridnya. Kebesaran dan keluasan wawasannya melebihi tokoh besar lainnya yang meninggalkan karya tulis.

Menurut penelitian orang bahwa Hasan Basri yang mula-mula sekali yang menyediakan waktunya untuk membicarakan ilmu kebatinan, kemurnian akhlak dan usaha-usaha untuk membersihkan jiwa di mesjid Basrah. Segala uraiannya dan penjelasannya tentang kerohanian senantiasa diukur dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Karena begitu penting perannya dalam mengembangkan ilmu tasawuf ini dan idanggap sebagai tokoh besar dalam ilmu tasawuf, sebagian silsilah shufi menyertakan diri Hasan Basri.
Dasar tasawuf Hasan Basri adalah zuhud terhadap dunia, menolak kemegahan dunia, semata-mata menuju Allah, bertawakkal kepada Allah. Khauf (takut) dan raja’ (pengharapan). Zuhud artinya, hati kurang tertarik kepada dunia, berpaling dari keindahan dan kemewahan dunia, karena berbuat taat kepada Allah.
Zuhud menurut sufi adalah suatu tingkatan jiwa (maqam) yang tertinggi dan maqam ini baru dapat dicapai apabila telah tertanam rasa takut dan harapan di dalam hati. Takut bukan taku kepada Allah tetapi takut terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan yang akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah. Demikian pandangan tasawuf Hasan Basri selalu bersedih hati, senantiasa takut dan gentar kalau tidak dapat menunaikan perintah Allah sepenuhnya dan tidak menghentikan larangan Allah sepenuhnya, karena diseret oleh syaitan dan nafsu. Tetapi kalau juga manusia telah berusaha memenuhi perintah dan berusaha menjauhkan diri dari kemaksiatan, karena kelalaian dan nafsunya juga masih terseret ke dalam kejahatan, manusia tidak boleh berputus asa tetapi selalu menanmkan harapan terhadap keampunan Allah, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Menurut Hasan Basri antara rasa takut kepada kemurkaan Allah harus diikuti ketakutan itu dengan harapan. Takun akan kemurkaan Allah tetapi mengharap keampunan Allah. Namun rasa takut lebih utama dari harapan dan kalau harapan lebih dahulu dari rasa takut, niscaya hati menjadi kosong. Tujuan pokok khauf dan raja’ ialah ingin mencapai kebebasan dari kejahatan dan mencapai kebaikan dan ketakwaan.
Mahmud bin Isa dalam bukunya “Al-Washiyayah” membawakan kutipan dari ucapan Hasan Basri kepada murid-muridnya:

Seseorang hendaknya berusaha memiliki sepuluh sifat anjing, yakni (1) Hendaknya menyedikitkan tidur malam, yang merupakan ciri kekuatan jiwa yang sejati. (2) Hendaknya tidak mengeluh lantaran kepanasan ataupun kedinginan yang merupakan pertanda dari hati yang sabar. (3) Tidak meninggalkan sebuah warisan yang merupakan perangai pengabdian yang sejati. (4) Tidak pernah marah atau iri hati yang merupakan perangai mukmin yang sejati. (5) Membuang jauh sifat-sifat orang yang rakus yang merupakan pertanda orang fakir (6) Tidak memiliki tempat tinggal menetap yang merupakan corak utama seorang pengembara (7) Hendaknya puas dengan apa yang tersedia untuk dimakan yang merupakan simbol kesederhanaan (8) Hendaknya tidur ketika menjumpai diri sendiri yang merupakan ciri hati yang pasrah (9) Tidak pernah bersikap salah terhadap majikan (tuan) jika sang tuan memukul kita, justru kita akan menurut kepadanya, ini merupakan simbol hati yang berkesadaran dan senantiasa merasa lapar merupakan karakteri orang besar... dan (10) Hendaklah menjadi gelap gulita sebagai penerang hati”.
Hasan Basri sebagai seorang tokoh besar dan zahid yang terkenal selalu menunjukkan keberaniannya dalam menyampaikan nasehat dan kritik kepada para penguasa. Ia pernah mengirim surat kepada khalifah Abdul Malik bin Marwan kepada panglima besar jenderal al-Hajaj dan kepada gubernur Irak Umar bin Hubairat.
Hasan Basri menjelang hari tuanya sering sakit dan pada awal bulan Rajab tahun 110 H. Bertepatan dengan tanggal 10 Oktober 728 M. Hasan Basri berpulang kerahmatullah dalam usia 81 tahun. Berita wafatnya Hasan Basri tersebar ke seluruh pelosok kota Basrah sehingga masyarakat kota Basrah menshalatkannya di mesjid Basrah dan dimakamkan di kota itu juga.

Dalam sejarah dicatat ada dua orang wanita yang hidup zuhud dan shufi, yang pertama Rabiatul Adawiyah yang hidup di kota Yerusalem yang meninggal sekitar tahun 135 H./753 M., yang kuburannya terdapat di pinggiran kota Yerusalem yang sampai saat ini diziarahi orang. Kedua Rabiatul Adawiyah yang akan dibicarakan dalam uraian berikut ini. Rabiatul Adawiyah yang nama lengkapnya Rabiatul Adawiyah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah dari suku Qais bin Adi adalah sesufi dan zahid wanita yang terkenal pada abad kedua hijriyah atau abad kedelapan Masehi. Ia dilahirkan pada tahun 95 H./713 M. Diperkampungan orang miskin yang terletak di luar kota Basrah. Ia wafat di kota itu pada tahun 185 H./801 M. dalam usia 90 tahun dan dimakamkan di kota Basrah.
Rabiatul Adawiyah dilahirkan sebagai puteri keempat yang dari keluarga yang sangat miskin karena itu ia dinamakan Rabi’ah yang artinya yang keempat. Kedua orang tuanya wafat ketika ia masih kecil, ketika terjadi keleparan yang melanda kota Basrah, ia diculik oleh perampok dan dijual kepada satu keluarga di kota Basrah dengan harga enam dirham. Kemudian ia dijual lagi kepada keluarga Atik. Pada keluarga Atik ia menjadi sebagai seorang budak yang diperlakukan dengan penuh kekerasan, namun ia tetap sabar dan selalu berdoa untuk dibebaskan dari penderitaan itu. Pada suatu hari ia dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang gelap, pada malam itu ia terus mengerjakan shalat dan berdoa dan menangis. Keluarga Atik mengintip apa yang dikerjakan Rabi’atul Adawiyah di kamar itu dan kelihatan cahaya yang menerangi keliling tubuhnya. Karena peristiwa itu ia dibebaskan dari perbudakan. Kepadanya diberi kebebasan untuk memilih tinggal bersama dengan keluarga Atik atau keluar dari rumah itu, namun ia memilih keluar dan berpindah ke sebuah gubum di luar kota Basrah. Di gubuk itulah ia melakukan kegiatan sambil bergabung dengan para shufi lainnya melakukan latihan zikir di mesjid Basrah. Di gubuk ia memberikan pelajaran kepada murid-muridnya yang terdiri dari kaum wanita dan banyak juga dikunjungi oleh orang yang zahid untuk bertukar pikiran dengannya yang di antaranya yang pernah berkunjung ke tempatnya adalah Malik bin Dinar (130 H./748 M), Sofyan as Sauri (161 H/778 M) dan Syaqiq al-Balhi (194 H/810 H).