berita baru

Minggu, 11 September 2011

Sekali si pecundang punya hasrat membunuh, segala hal bisa jadi alasan.

Wawancara & Analisis
Ian Buruma

Panggilan Perang

Sekali si pecundang punya hasrat membunuh, segala hal bisa jadi alasan.

Selasa, 9 Agustus 2011, 11:44 WIB
Bonardo Maulana Wahono
VIVAnews - Mari menduga bahwa pendapat Geert Wilders, politikus berkebangsaan Belanda yang meyakini bahwa Eropa tengah mengalami "tahapan akhir Islamisasi", benar adanya: Anders Breivik, pembantai dari daratan Norwegia itu, gila. Wilders berkicau lewat akun Twitter miliknya: "Bahwa seorang psikopat telah mencederai perjuangan melawan Islamisasi adalah sesuatu yang menjijikkan serta menjadi tamparan bagi pergerakan anti Islam di seluruh dunia."

Asumsi itu bisa salah. Menjagal lebih dari 60 remaja tak berdosa di sebuah acara kumpul-kumpul dengan senapan serbu setelah meledakkan kompleks pemerintahan di pusat kota Oslo merupakan tindakan yang ganjil secara moral, untuk menyebutnya secara halus. Tentunya, orang waras tak pernah terpikir melakukan tindakan seperti itu.

Hal yang sama berlaku pula bagi sekelompok pemuda yang memutuskan bunuh diri dan melakukan pembunuhan massal dengan cara menabrakkan pesawat komersil ke beberapa bangunan di New York dan Washington, Amerika Serikat. Namun, baik Breivik maupun para teroris dalam aksi 11 September 2001, tidak melakukan pembunuhan tanpa alasan - tak seperti yang dilakukan oleh para nihilis di Amerika yang menembaki orang tanpa alasan. Para fundamentalis Islam memandang aksi mereka sebagai sebuah taktik di tengah jihad menumpas orang-orang berakhlak rendah, kaum Barat yang berdosa.

Breivik membayangkan dirinya menjelma seorang ksatria bagi pihak lain. Ia bertujuan melindungi Barat dari Islamisasi. Musuhnya tak hanya kaum Muslim tapi juga para elit liberal Barat serta anak-cucu mereka yang mengancurkan Eropa lewat paham "multikulturalisme" dan "Marxisme kultural."

Bahkan, hal yang Breivik tuliskan sebagai manifesto - berjudul Dekalarasi Kemerdekaan Eropa - lebih-kurangnya telah kerap dibicarakan oleh kaum populis macam Geert Wilders. Tentu saja manifesto itu memuat hal lain, seperti fantasi tentang kebangkitan Ksatria Templar. Ada seorang politikus sayap-kanan Eropa yang siap membela Breivik. Ia adalah Francesco Speroni, anggota Partai Liga Utara, Italia, bagian dari pemerintahan Silvio Berlusconi. Speroni menyatakan bahwa gagasan-gagasan Breivik bertujuan "melindungi peradaban Barat."

Jadi, seberapa serius sebenarnya kita mesti menanggapi alasan yang dipakai oleh para pembantai seperti Breivik dan teroris 11 September dalam melangsungkan aksi mereka?

Beberapa tahun lalu, seorang penulis Jerman bernama Hans Magnus Enzensberger dalam esainya menulis tentang "pecundang radikal." Ia merujuk kepada anak-anak muda yang emosinya mudah tersulut oleh lemahnya harkat sosial, ekonomi serta seksual mereka sendiri, pun sikap masa bodoh lingkungan sekitar mereka. Itu sebabnya mereka merindukan tindakan bunuh diri yang punya daya hancur besar.

Tindakan itu dapat dipicu oleh apapun. Contohnya, cinta tak bersambut; kehilangan pekerjaan; atau tak lulus ujian. Kadang, para pembantai itu punya pembenaran ideologis: menegakkan Islam yang murni, berjuang demi komunisme atau fasisme, atau menyelamatkan Barat. Ideal semacam itu mungkin tak penting. Sekali si pecundang punya hasrat membunuh, segala hal bisa jadi alasan.

Mungkin saja.

Tapi, apa sama sekali tak ada simpul yang menghubungkan pandangan para fundamentalis atau politikus di atas dengan aksi-aksi yang dilakukan atas nama pendapat semacam? Karena kini Wilders tengah jadi bulan-bulanan, dan Breivik mengaku bahwa ia mengaguminya, aksi seorang pembantai sakit jiwa semestinya tak dipakai guna mendiskreditkan pandangan Wilders. Lagi pula, tak ada yang tak masuk akal dengan klaim yang menyatakan bahwa multikulturalisme mengandung cela; atau bahwa Islam menentang pandangan Eropa Barat atas persamaan gender atau hak bagi kaum homeseksual; atau bahwa imigrasi massal akan memungkinkan konflik sosial yang gawat.

Klaim-klaim sedemikian mulai diembuskan oleh kaum konservatif yang dihormati, bahkan kaum sosial demokrat, pada tahun 1990an. Mereka bereaksi terhadap sistem liberal yang cenderung menyingkirkan segala kritik tentang imigrasi atau kepercayaan non-Barat serta tradisi sebagai bentuk rasisme dan fanatisme.

Namun, sementara membicarakan konsekuensi sosial dari imigrasi besar-besaran yang berlangsung dari negara-negara Islam bukanlah sesuatu yang salah, beberapa kaum populis di Belanda, Denmark, Perancis, Jerman, Belgia, Inggris, dan negara lain, bertolak lebuh jauh. Wilders, khususnya, gemar mendengungkan istilah "cahaya Eropa mulai meredup" dan "kelangsungan Barat yang nyata." Masalahnya tak hanya pada adanya sebentuk Islam revolusioner, namun juga Islam itu sendiri: "Jika kita ingin mencari bandingan bagi Islam, berpalinglah pada komunisme atau sosialisme nasional - ideologi totaliter."

Ini adalah ekspresi perang eksistensial, dari sisi yang berbahaya. Tapi, kosa kata dari masa Perang Dunia Kedua memang tengah digembar-gemborkan. Pihak-pihak yang menentang kebencian atas semua bentuk Islam disebut "juru damai", atau "kolaborator" atau "fasisme Islam." Bagi beberapa kalangan, tragedi 11 September 2001 tak berbeda dengan insiden 1938, atau 1940. Kelangsungan peradaban Barat dalam bahaya. Apakah sebuah hal yang mengejutkan jika ada pihak yang menyalahartikan retorik ini sebagai

Yang pasti, baik Geert Wilders atau narablog anti-Islam di AS seperti Scott Spencer dan Pamela Geller (keduanya sering disebut-sebut dalam manifesto Breivik) tak manganjurkan kekerasan fisik. Namun, tulisan-tulisan dan pernyataan mereka telah mampu memicu orang lain bersikap berat sebelah. Penafsiran Breivik atas pernyataan-pernyataan mereka kiranya lebih masuk akal dari gagasan bahwa kata-kata belaka dapat menyelamatan kelangsungan kita.

--

Ian Buruma adalah Guru Besar Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Bard College, serta Penulis "Taming the Gods: Religion and Democracy on Three Continents."

Artikel ini diterjemahkan dari www.project-syndicate.org

• VIVAnews

Harga Tragedi 9/11

Harga Tragedi 9/11

Perang di Afghanistan dan Irak telah melemahkan ekonomi makro AS.

Senin, 5 September 2011, 14:02 WIB
Bonardo Maulana Wahono
VIVAnews - Peristiwa 11 September 2001, yang dikenal dengan Tragedi 9/11, merupakan ulah Al-Qaeda untuk mencederai Amerika Serikat. Tentu saja, niat itu berhasil. Namun, Osama bin Laden tak pernah membayangkan efeknya. Reaksi Presiden AS ketika itu, George W. Bush, menodai prinsip dasar negeri Paman Sam, menggerogoti perekonomian bangsa itu, serta melemahkan keamanan.

Serbuan ke Afghanistan pasca serangan teroris masih bisa dipahami. Tapi, invasi ke Irak sungguh tak ada kaitannya dengan Al-Qaeda - bagaimanapun kerasnya Bush berupaya mencari-cari hubungannya. Kemudian, perang AS melawan Irak menjadi amat mahal - yang pada awalnya membutuhkan lebih dari US$60 miliar (Rp551,5 triliun).

Ketika saya dan Linda Bilmes menghitung biaya perang yang mesti dikeluarkan AS tiga tahun lalu, angka kasar berada di kisaran US$3-5 triliun. Sejak itu, anggaran kian meningkat. Dengan nyaris 50 persen jumlah tentara yang kembali dan bisa menerima santunan cacat tubuh dan lebih dari 600 ribu veteran yang menjalani perawatan medis, kami menduga bahwa uang bagi tentara yang cacat dan biaya kesehatan akan mencapai sekitar US$600-900 miliar.
Di luar itu, biaya sosial yang muncul seperti tindakan bunuh diri yang diambil oleh para veteran perang (yang beberapa tahun belakangan menyentuh 18 kejadian per hari) dan retaknya rumah tangga tak bisa dihitung secara pasti.

Bahkan, jika Bush mendapatkan maaf atas jasanya menyertakan AS dan negara-negara lain dalam perak melawan Irak, tak ada ampun bagi Bush atas cara yang ia pilih untuk membiayai perang. Sepanjang sejarah, perang Bush itu adalah satu-satunya yang dibiayai sepenuhnya dari pinjaman. Pada saat AS tengah berperang, dengan defisit yang kian meningkat setelah pemotongan pajak di tahun 2001, Bush memutuskan bahwa golongan kaya di negeri itu pantas mendapatkan keringanan pajak.

Hari-hari ini, AS tengah berkutat dengan pengangguran dan defisit. Ancaman yang bisa menjatuhkan AS di masa mendatang dapat dilacak hingga perang di Afghanistan dan Irak. Melonjaknya belanja pertahanan, bersamaan dengan pemotongan pajak, merupakan faktor kunci yang menguak penyebab mengapa AS beringsut dari yang mulanya mencetak keuntungan fiskal hingga 2 persen dari PDB ketika Bush terpilih menjadi dirongrong utang. Belanja langsung pemerintah untuk kedua perang itu mencapai kira-kira US$2 triliun - US$17.000 per keluarga.

Selain itu, saya dan Bilmes menegaskan dalam buku kami yang berjudul "The Three Million Dollar War" (Perang Tiga Juta Dolar) bahwa perang di Afghanistan dan Irak telah melemahkan ekonomi makro AS dan memperuncing defisit serta utang. Kini, gejolak di Timur Tengah memicu membubungnya harga minyak. Bangsa Amerika dituntut mengeluarkan uang lebih banyak demi mengimpor minyak. Padahal, mereka bisa memakai uang itu untuk membeli lebih banyak produk domestik.

Namun, Bank Sentral AS (Federal Reserve) menyembunyikan keburukan itu dengan menciptakan gelembung kredit perumahan yang akhirnya mendorong ledakan konsumsi. Butuh bertahun-tahun untuk mengatasi masalah itu.
Kacau Balau
Ironisnya, perang itu telah bikin keamanan AS (dan dunia) kacau-balau lagi-lagi dengan cara yang tak pernah dibayangkan oleh Bin Laden. Perang yang tak populer akan menyulitkan perekrutan tentara. Tapi, selagi Bush mencoba mengakali Amerika tentang biaya perang, ia tak memberikan sokongan dana cukup bagi para prajurit.
Ia menolak memberikan pengeluaran standar yang dibutuhkan untuk, misalnya, kendaraan lapis baja yang anti-ranjau guna melindungi pasukan. Atau, setidakya, menyediakan cukup tunjangan kesehatan bagi para veteran. Ada pengadilan di AS yang baru-baru ini menyatakan bahwa hak-hak para veteran telah dilanggar. (Hebatnya, pemerintahan Obama meminta bahwa hak veteran mengajukan banding mesti dibatasi!)

Kegagalan militer telah memunculkan kecemasan atas penggunaan kekuatan militer. Dan hal ini cenderung mengancam keamanan Amerika. Namun, kekuatan Amerika yang sejati adalah, melebihi ketangguhan militer dan ekonomi, kekuatan lunaknya: otoritas moral.
Dan, yang satu itu pun telah dilemahkan: seketika setelah AS melanggar hak asasi manusia yang mendasar seperti hak untuk tak mengalami siksaan, dunia sontak mempertanyakan komitmennya kepada hukum internasional.

Di Afghanistan dan Irak, AS dan sekutu-sekutunya tahu bahwa untuk mendapatkan kemenangan jangka panjang, hati dan pikiran harus dicuri. Namun, kesalahan demi kesalahan yang dilakukan pada awal perang memperumit perang yang telah pelik itu.
Efek samping yang ditimbulkannya dahsyat: lebih dari satu juta warga Irak tewas, langsung atau tak langsung, akibat perang. Menurut beberapa kajian, sekitar 137.000 warga sipil tewas dengan mengenaskan di Irak dan Afghanistan dalam 10 tahun terakhir. Di antara bangsa Irak sendiri, 1,8 juta pengungsi mencari tempat aman dan 1,7 juta lainnya kehilangan tempat tinggal.

Tak semua konsekuensi berujung bencana. Defisit yang dialami Amerika agaknya akan menimbulkan kendala anggaran. Belanja militer AS nyaris menyamai belanja militer dunia jika disatukan dua dekade setelah era Perang Dingin berakhir.
Beberapa peningkatan belanja anggaran ditujukan ke Irak, Afghanistan dan Perang Global Melawan Terorisme. Namun, banyak dana yang terbuang sia-sia demi senjata akan dipakai untuk membinasakan musuh, yang jelas-jelas tak ada. Kini, dana itu akan didistribusikan ulang, dan AS kiranya akan mengeluarkan biaya lebih kecil untuk mengusahakan keamanan dalam negerinya.

Al-Qaeda tak lagi jadi menyembul jadi ancaman besar setelah peristiwa 11 September 10 tahun silam. Namun, harga yang harus dibayar begitu besar. Kita akan hidup dengan warisan yang ditinggalkannya dalam waktu lama. Berpikir sebelum bertindak memang ternyata penting.

--

Joseph E. Stiglitz adalah Profesor di Columbia University, peraih Nobel di bidang ekonomi, serta pengarang "Freefall: Free Markets and the Sinking of the Global Economy".

Artikel ini diterjemahkan dari laman www.project-syndicate.org

• VIVAnews